Mengukur Efektifitas Penerapan Partial Lockdown Pandemi Covid-19 oleh Pemda Aceh

Nur Syarina, Mahasiswi UIN-Ar Raniry, Rabu (3/6/2020). Foto: Ist.
Oleh: Nur Syarina
Coronavirus disease (Covid-19) telah berhasil mendapatkan perhatian internasional setelah pandemi dari virus ini menyebar ke lebih dari 140 negara. 
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini telah menetapkan Covid-19 sebagai darurat permasalahan kesehatan dunia. 

Covid-19 memiliki kemampuan untuk menyebar dengan sangat cepat “penyebar super”.  Penyebaran virus ini berasal dari orang yang positif terinfeksi Covid-19 melalui tetesan kecil yang berasal dari hidung atau mulut penderita saat bersin ataupun batuk. 

Dengan demikian, penting bagi negara-negara lainnya untuk merespon, mencegah, dan menangani pandemi dari virus ini. 

Lonjakan penyebaran virus ini juga telah sampai di Indonesia, termasuk Kota Banda Aceh. Menanggapi hal tersebut, pemerintah setempat telah mengeluarkan peraturan sebagai upaya antisipasi penyebaran Covid-19. 

Salah satu peraturan yang dimaksud adalah dengan diberlakukannya pembatasan aktivitas masyarakat di luar rumah pada malam hari. Peraturan ini dilakukan pemerintah Aceh sebagai tindakan untuk menindaklanjuti keputusan Presiden Indonesia, Joko Widodo. 

Yakni Peraturan Presiden No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) dengan mengatur tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan persetujuan Menteri Kesehatan. 

Peraturan ini telah diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 2020 Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly.

Pemberlakuan peraturan ini merupakan langkah yang tepat yang sudah seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk memutuskan rantai hidup Covid-19. Pembatasan aktivitas masyarakat diterapkan mulai dari pukul 08:30 PM hingga pukul 05:30 AM. 

Saat pemberlakuan jam malam berlangsung, masyarakat dilarang melakukan aktivitas di luar rumah terkecuali dengan menampilkan surat penugasan. Selama waktu itu pula, masyarakat setempat dilarang keras untuk membuka kafe, restoran, pasar, swalayan, mall, tempat karoke, tempat olahraga, hingga angkutan umum. 

Namun dispensasi diberikan kepada penyedia jasa angkutan umum yang melayani kebutuhan pokok masyarakat (dengan ketentuan tetap melampirkan surat penugasan). 

Akan tetapi, pemberlakuan jam malam tersebut tidak diterima sepenuhnya oleh setiap elemen masyarakat. Beberapa warga tampak tidak menaati peraturan tersebut dan menganggap peraturan itu sia-sia dan tidak akan mampu memutus rantai penyebaran covid-19. 

Keefektifan penerapan partial lockdown pandemi covid-19 lalu mendapat berbagai sorotan, baik dari kalangan akademik maupun dari pihak dewan selaku legislatif di Aceh.

M. Rizal Pahlevi selaku DPRA mengungkapkan bahwa pemberlakuan jam malam tidak akan menuai manfaat bagi masyarakat, apabila jalur udara (bandara) ataupun jalur air (pelabuhan) tidak ditutup. 

Pernyataan dari Pahlevi tersebut erat kaitannya apabila dihubungkan dengan data pasien yang positif terinfeksi covid-19 di Aceh yang menyatakan bahwasanya salah satu jalur penyebaran Covid-19 terbanyak adalah melalui penyedia layanan transportasi, baik transportasi jalur udara maupun transportasi jalur air. 

Dengan menutup tempat-tempat tersebut maka akan lebih meminimalisir jumlah turis yang kemungkinan merupakan pembawa Covid-19. 

Selain itu, tempat-tempat tersebut cenderung merupakan salah satu tempat yang ramai dikunjungi oleh orang dari berbagai latar belakang usia dan riwayat bepergian ke tempat-tempat lainnya (termasuk zona merah Covid-19). Sehingga dengan menutup akses di tempat tersebut, tertutup pula akses turis mengujungi Aceh. 

Melalui penutupan akses di tempat ini juga akan menutup kemungkinan bagi masyarakat untuk bepergian ke luar daerah, sehingga resiko penularan Covid-19 dapat lebih dibatasi. Sesuai pemaparan yang telah disebutkan terlebih dahulu, berdasarkan data pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas RSUDZA Banda Aceh.

Dari kelima pasien positif Covid-19 yang diumumkan oleh Jubir Pemda Aceh semuanya memiliki riwayat perjalanan ke luar kota / luar negeri baru-baru ini, dengan demikian dapat dipahami dengan baik bahwa penutupan akses bandara dan pelabuhan terbukti dapat menghadang penyebaran Covid-19. 


Berdasarkan pendapat Pahlevi di atas, dapat disimpulkan bahwa memang pendapat yang tepat tentang pemberlakuan pembatasan jam malam yang tidak akan efektif jika tidak diberlakukan bersamaan dengan penutupan akses masuknya pendatang ke Aceh melalui bandara dan pelabuhan. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun belum memberikan dampak yang nyata terhadap penurunan jumlah kasus covid-19, pemberlakuan pembatasan jam malam sebagai upaya penurunan laju covid-19 telah berhasil membuat masyarakat sadar akan bahaya covid-19 d
an menganggap pentingnya melakukan social distancing dalam rangka melawan covid-19 . 

Masyarakat Aceh tidak mengira bahwa pandemi virus ini telah berakhir karena jumlah pasien positif Covid-19 yang sedikit di Aceh.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Aceh DR Dr Safrizal Rahman MKes SpOT mengungkapkan persetujuannya terhadap pemberlakuan jam malam di Aceh. Ketua IDI Aceh juga mengungkapkan bahwa dia tidak ikut mendukung pemberhentian jam malam, meskipun belum dilakukan evaluasi untuk melihat tren kasus covid-19 setelah diberlakukan jam malam di Kota Banda Aceh. 

Beliau yakin bahwasanya pemberlakuan jam malam tersebut telah melalui rangkaian kajian yang mendalam dan memperoleh kesepakatan dengan seluruh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah. Sehingga, keputusan pemberlakuan jam malam tersebut tentu diambil karena dianggap menuai manfaat bagi orang banyak. 

Dengan diterapkan aturan pembatasan jam malam, masyarakat yang lemah dalam hal social distancing akan terpaksa menaati peraturan tersebut agar terhindar dari sanksi yang mungkin diberikan oleh pemerintah setempat untuk mendukung tegaknya peraturan.

Dampaknya adalah berkurangnya kontak fisik antara satu orang dengan orang lainnya pada malam hari sehingga resiko penularan covid-19 ini bisa lebih dikurangi. 

Selain Pahlevi, anggota Koalisi Reformasi Sektor Keamanan, Wahyudi Djafar juga menyatakan bahwa sejauh ini peraturan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 dianggap darueat bencana, meskipun bukan bencana yang berasal dari alam. 

"Kami berharap adanya Keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah tentang virus corona" ujarnya. Wahyudi juga menyatakan bahwa setidaknya pemerintah pengambil langkah dengan mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan. Dirinya juga meminta agar Peraturan Presiden lebih rinci dalam mengatur struktur komando pengendalian covid-19. 

Menyorot sikap dan paparan Wahyudi sepatutnya turut membuka mata agar lebih yakin, bahwa sebenarnya sekarang pemerintah tampak “berjalan sendiri” dengan keputusan penetapan pembatasan jam malam itu. 

Penulis juga menilai bahwa penetapan peraturan ini tampak tidak efektif melihat tidak semua wilayah baik wilayah kecil di Aceh ataupun Indonesia yang seluruhnya tidak melaksanakan tindakan serupa. 

Sebagai contoh, wilayah Aceh Barat, Nagan Raya serta beberapa wilayah lainnya di Aceh sejauh ini tidak memberlakukan kebijakan jam malam tersebut. 

Pembatasan aktivitas masyarakat saat jam malam berbeda dengan lockdown. Pembatasan aktivitas masyarakat tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat 11 Undang Undang No. 6 tahun 2018, sebagai salah satu tindakan masyarakat dalam membatasi kegiatan tertentu dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi kepada penduduk tersebut. 

Selanjutnya pada Pasal 59 ayat 1 dijelaskan bahwa tindakan tersebut baru bisa dilaksanakan setelah ada status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (seperti sekarang). Namun, sebelum peraturan pembatasan aktivitas diberlakukan, Presiden Indonesia juga telah menghimbau masyarakat untuk belajar, bekerja, dan beribadah dari rumah guna menghentikan penyebaran covid-19. 

Untuk mendukung tegaknya peraturan, maka juru bicara Markas Besar Polisi Republik Indonesia, M. Iqbal saat dijumpai pers berkata bahwa “setiap perkumpulan akan dibubarkan dengan tegas, termasuk pesta pernikahan”. 

Tidak hanya itu, pihak kepolisian juga dengan tegas akan memenjarakan orang-orang yang melawan aturan ini dengan menggunakan sejumlah pasal dari KUHP dengan ancaman pidana mulai dari 4,5 bulan hingga 7 tahun penjara. Namun, pembubaran yang dilakukan pihak kepolisian akan mengedepankan upaya persuasif humanis. 

Beberapa kesimpulan dapat dirangkum terkait mengukur keefektifan penerapan partial lockdown selama pandemi covid-19 sebagai berikut;

Coronavirus disease (Covid-19) berhasil medapatkan perhatian internasional dari pandemi virus yang dia sebarkan ke lebih dari 140 negara lainnya. 

Hal tersebut mewajibkan setiap negara untuk menetapkan penanganan yang tepat untuk menangani dan mencegah penyebaran wabah Covid-19. 

Sebagai salah satu negara yang ikut terjangkit wabah mematikan ini, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan peraturannya dalam mencegah penularan pandemi Covid-19 ke seluruh bagian indonesia dengan menetapkan maklumat pembatasan jam malam. 

Salah satu kota yang telah menerapkan peraturan tersebut adalah Kota Banda Aceh. Namun penulis menilai penetapan peraturan tersebut tidak efektif jika tidak dijalankan bersama dengan penutupan bandara dan pelabuhan. 

Karena berdasarkan data dari Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, jalur utama penyebaran vovid-19 berasal dari 2 tempat itu mengingat kelima pasien positif vovid-19 di Aceh seluruhnya memiliki riwayat perjalanan keluar kota baru-baru ini. 

Tidak semua daerah di Aceh melakukan karantina wilayah seperti yang di berlakukan di Banda Aceh, sehingga hal ini menunjukkan ketidakefektifan dalam pemberlakuan keputusan pemerintah.

Namun meskipun demikian, peraturan ini telah menyadarkan masyarakat akan pentingnya social distancing dan menganggap pandemi covid-19 belum berakhir meskipun jumlah pasien yang positif terjangkit covid-19 di Aceh tergolong sedikit jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.

Peraturan yang ditetapkan pemerintah sudah cocok meskipun mengingat peraturan tersebut tidak sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan. 

Mengingat susahnya pemerintah dalam menanggung kebutuhan masyarakat sepenuhnya selama karantina total berlangsung. Jika peraturan karantina diberlakukan, maka kemungkinan penanganan akan terkesan “bercanda” dan tidak dapat diterapkan secara riil.

 *Penulis adalah mahasiswi Jurusan Sosiologi Agama, UIN Ar-Raniry 



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.