Menyoal Kepercayaan Masyarakat Aceh ke Pemerintah Selama Pandemi Covid-19

Nur Syarina, Mahasiswi UIN-Arraniry, Rabu (3/5/2020). Foto: Ist.
Oleh: Nur Syarina

Akhir tahun 2019 dunia dihebohkan oleh munculnya sebuah wabah virus yang menyerang kota Wuhan. Awalnya virus ini hanya menginfeksi puluhan ribu warga china. Perlahan namun pasti virus ini akhirnya keluar dari habitatnya dan  menyebar ke negara tetangga seperti Korea Selatan, Jepang dan sekitarnya.

Situasi dan keadaan tersebut kian parah pada awal 2020 ketika wabah tersebut mulai tersebar dengan jangkauan yang lebih jauh hampir ke seluruh negara di berbagai belahan dunia seperti Italia, Spanyol, Amerika Serikat dan lain-lain.

Kasus positif pertama yang menimpa di tanah air menimpa dua warga Depok, Jawa Barat, keduanya diduga tertular virus corona karena kontak langsung dengan warga negara asal Jepang yang datang ke Indonesia .

Hal ini pertama kali diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 2 maret 2020, di Istana Kepresidenan. Sementara itu di ranah lokal Aceh, dilaporkan kasus positif pertama covid -9 pada 26 Maret 2020, kasus pertama ini merupakan pasien dalam pengawasan (PDP) asal Lhokseumawe yang meninggal beberapa hari sebelumnya.

Selama beberapa dekade terakhir dunia mengalami perubahan yang turut serta dalam membangun kesadaran publik dan merubah persepsi publik terhadap pemerintah melalui empat transformasi besar yaitu globalisasi, demokratisasi, informasi dan teknologi komunikasi.

Kompleksitas kebutuhan, meningkatkan tuntutan publik terhadap pemerintah. Ketidakberdayaan pemerintah untuk memenuhi ekspektasi publik mengakibatkan persepsi publik terhadap pemerintah cenderung negatif.

Salah satu akibatnya yaitu turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kepercayaan publik bukan suatu hal yang datang dengan sendirinya namun sesuatu yang bersifat sangat dinamis dan harus dikelola.

Ketika ekspetasi publik tidak sesuai dengan kenyataan, ketidakpercayaan masyarakat akan sangat mudah terbentuk. Kepercayaan publik merupakan variablel penting terwujudnya good governance. Kepercayaan menghasilkan legitimasi publik yang digunakan sebagai instrumen untuk mendapatkan dukungan politik maupun sosial dalam aktivitas pemerintah yang dapat menciptakan modal sosial bagi pemerintah.

Menyoal Bentuk Kepercayaan Publik

Kepercayaan secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu political trust (kepercayaan politik) dan social trust (kepercayaan sosial). Kepercayaan politik yaitu kepercayaan yang dinilai ke dalam bentuk politik. Kepercayaan itu terjadi ketika masyarakat menilai pemerintahan dan institusinya, pembuatan kebijakan secara umum dan atau para pemimpin politik secara individual berjanji untuk menepati, efisien, adil dan jujur.

Jika institusi pemerintah, pejabat publik dan kebijakan yang dibuat oleh mereka dinilai baik oleh masyarakat maka masyarakat mempunyai kepercayaan yang tinggi. Kepercayaan sering diartikan sebagai suatu kondisi dimana warga dapat menyerahkan nasibnya kepada pemerintah dan para pejabat publik karena dianggap akan selalu mengurus kepentingan warga secara baik.

Sedangkan social trust adalah kepecayaan yang merujuk pada masyarakat yang saling percaya antar anggota komunitas sosial satu dengan lainya. Kepercayaan Publik melalui Reformasi Birokrasi mengatakan bahwa kepercayaan sosial dapat dideskripsikan seperti ketika warga percaya bahwa tetangganya adalah orang baik yang akan selalu ikut menjaga harta bendanya selama mereka meninggalkan rumah atau sedang bepergian.

Dengan begitu warga yang memiliki kepercayaan sosial akan tetap merasa aman, tenang dan nyaman walau rumah dan harta bendanya ditinggalkan beberapa lama. Adanya partisipasi warga dalam kegiatan sosial dan saling percaya diantara sesama warga dapat memberikan kontribusi terhadap terbentuknya kepercayaan politik.

Interaksi yang terjadi antar warga dalam kegiatan sosial dan pemerintahan bukan hanya akan membuat warga memiliki kepercayaan yang semakin tinggi terhadap warga lainnya tetapi juga terhadap pemerintah.

Menurut penelitian tingkat kepercayaan (public trust) masyarakat Aceh terhadap pemerintah lebih tinggi tingkat kepercayaan terhadap pemerintah daerah daripada pemerintah pusat . Pemerintah pusat dianggap lamban dalam bereaksi. Bias dilihat di awal awal kemunculan pandemi ini , pemerintah pusat menganggap remeh terhadap pandemik ini dan menyatakann bahwa Indonesia aman dari penyebaran virus covid -9 ini.

Bukannya menutup bandara malah gencar melakukan promosi wisata. Baru pada 2 Maret pemerintah pusat sadar dan menentukan sikap karena sudah adanya warganya yang terpapar virus covid-19 ini, beda halnya dengan pemerintah daerah Aceh yang sigap mengambil langkah seperti gerak cepat mengirimkan bantuan logistic dan evakuasi bagi warganya yang belajar di Wuhan – China.

Saat pertengahan maret 2020 ketika Aceh masih nol kasus, pemerintah tidak menunggu adanya korban positif baru tetapi mengambil langkah antisipatif. Pemerintah Aceh langsung mengeluarkan edaran untuk menghentikan segala aktifitas yang mengundang kerumunan banyak orang. Maka tidak heran apabila masyarakat masyarakat banyak memberikan respon positif terhadap pemerintah daerah Aceh.

Pandemi corona semakin hari semakin ganas menyebar ke seluruh pelosok dunia dan saat ini penyebarannya belum bias dihentikan. Belum ada yang bias menjamin bahwasannya pasien yang telah sembih tidak terkena lagi.

Terbukti, setelah berhasil memulihkan dan memulangkan pasien terakhir positif covid-19 pada 12 Maret lalu . Enam hari berselang satu warga aceh berumur 41 tahun asal Kabupaten Gayo Lues malah dinyatakan positif terpapar virus corona.

Artinya corona masih di sekitar kita, siap menular kapan saja dan di mana saja. Maka pemerintah wajib mengatur kembali strategi untuk pencegahan penyebaran pandemi ini demi menyelamatkan warga.

Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sepertinya menjadi salah satu alternatif kebijakan yang dijalankan oleh Pemerintah Aceh. Pemerintah sendiri menyatakan sudah siap untuk mengadopsi PSBB ini, begitu juga masyarakat yang mayoritas nampaknya sudah siap untuk menjalankan PSBB tersebut.

Oleh karena itu, solusi jangka pendek ini bisa dilakukan oleh pemerintah untuk meredam penyebaran covid 19 dinilai sudah sangat mengkhawatirkan. Adapun rekomenasi yang diberikan yaitu;

Membentuk tim epidemilogis untuk mengkaji potensi dan pola sebaran covid 19, jumlah kasus/ jumlah kematian dan kaitan epidemiologis dengan penularan dalam suatu wilayah.

Mempertimbangkan penerapan PSBB terbatas di kabupaten/kota yang beresiko tinggi berdasarkan kajian epidemiologis.

Melakukan kajiian komperehensif tentang dampak penerapan PSBB terhadap social- ekonomi dan kesiapan pemerintah aceh dan pemerintah kabupaten/kota dalam mengatasinya.

Mempersiapkan segala sumber daya yang dibutuhkan apabila PSBB harus diterapkan, karena kurva epidemiologi di berbagai Negara menunjukan tren kasus covid-19 belum landau bahkan banyak daerah di Indonesia tren kasusnya terus menanjak.

Perlu penyamaan persepsi antartokoh masyarakat terhadap dampak social – ekonomi penerapan PSBB di suatu kabupaten/kota agar tidak terjadi silang pendapat yang membingungkan masyarakat.

*Penulis adalah mahasiswi pada Jurusan Sosiologi Agama, UIN Ar-Raniry 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.