Pemerintah Aceh Jangan Jadi Penghayal





Kewenangan pengelolaan sumber daya alam secara mandiri oleh Penerintah Aceh semakin terasa dengan dibentuknya Badan pengelola migas  Aceh (  BPMA ). Dilakukanya pengalihan pengelolaan ladang minyak gas blok B Aceh Utara, oleh banyak kalangan juga dianggap sebagai tonggak sejarah baru.

Ini merupakan dua instrumen penting dalam upaya membangun kemandirian migas bangsa Aceh, sebagai wujud pelaksanaan Undang undang Pemerintah Aceh. Beberapa komponen Aceh malah mengganalogikan bahwa ini merupakan titik awal dimana rakyat Aceh dapat menikmati serta mengelola sendiri bagi hasil migas di perut Bumi Serambi Mekah.

Dasar hukum pembentukan BPMA adalah PP No. 23/2015 tentang pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh yang merupakan tindak lanjut perintah pasal 160 ayat 5 UU No. 11/2016 tentang Pemerintahan Aceh.

Praktiknya PP No 23/2015 ini, telah mereduksi makna kewenangan pemerintah Aceh dalam mengisi hak Otonomnya. Salah satu tolak ukur guna mewujudkan kewenangan Pemerintahan Aceh dalam menjalankan Otonominya adalah sejauh mana Pemerintahan Aceh diberikan keleluasaan agar dapat berekpresi secara bebas dan terukur guna memenuhi segala hak dan kewajibanya dalam menjalankan UU PA.

Jika melihat beragam peristiwa hukum yang terjadi dalam satu dekade terakhir sepertinya ada upaya yang terus menerus dilakukan pusat untuk melemahkan makna self Goverment dalam UUPA. Padahal pada  pasal 18 B UUD 1945 negara mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa.

Keberadaan BPMA sebenarnya tak lebih hanya sebagai perpanjangan Pusat dalam mencengkram sektor migas di Aceh. Kewenagan Bangsa Aceh dalam mengelola hasil Migas di perut bumi Serambi Mekah yang kerap digembar gemborkan oleh elit politik Aceh sebagai tonggak baru sejarah Migas Aceh, sebenarnya hanya khayalan belaka.

Coba kita lihat kewenangan Aceh dalam mengelola haknya terkait bagi hasil migas.  Dalam pasal 14 PP No 23/2015 fungsi BPMA di lemahkan, BPMA tidak memiliki kewenangan guna menunjuk penjual terhadap hasil migas  yang di ambil dalam perut bumi Aceh.  Jadi produk migas dari hasil kerjasama yang menjadi bagian Aceh tidak bisa dijual oleh BPMA, yang punya hak jual itu tetap pusat.

Pemerintah Aceh tidak bisa mengelola migas secara mandiri atau menyediakan migas murah kepada kepada rakyat. Keikut sertaan Pemerintah Aceh di sektor migas hanya sebatas pengawasan dan pemantauan dalam hal produksi. Ini jelas mereduksi semangat pasal 160 UU PA yang menjadi dasar dibentuknya BPMA.

Pemerintah Aceh juga tidak memiliki wewenang penuh dalam hal mengangkat dan memberhentikan ketua BPMA. Cita-cita dibentuknya BPMA adalah agar hasil Migas Aceh dapat dikelola sendiri oleh bangsa Aceh guna menghadirkan kesejahtraan bagi rakyat.

Pesan secara eksplisit dari pasal 160 UUPA adalah, Kita tidak percaya dengan kemampuan pengelolaan migas pemerintah pusat mampu membawa kesejahtraan bagi rakyat Aceh.

Fakta dari ketidak mampuan pemerintah pusat dalam menyejahtrakan rakyat Aceh, maka kita tuntut  beberapa kewenangan Pemerintahan sendiri  melalui Undang Undang Pemerintahan Aceh No 11/2006. Dalam pasal 160 kewenangan pengelolaan sektor migas merupakan hak Aceh.

Nah belakangan beragam kewenangan  Bangsa Aceh mulai dikaburkan bahkan diambil ulang secara perlahan, salah satunya melalui PP 23/2015. Akhirnya Rakyat Aceh secara perlahan dapat melihat dan merasakan bahwa pameo pemerintah pusat tidak bisa dipercaya adalah benar adanya. ( Agus Budiarsa, Wartawan Koran Aceh di Nagan Raya)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.