Pemikiran Purba di Sebalik Tanya: Baru Terima Rapor Ya? Ranking Berapa?

Ilustrasi karikatur pembelajaran, Sumber: fb akun Marina Novianti.
Oleh: Marina Novianti
Minggu ini rapor mulai dibagikan. Kalimat di atas biasanya terdengar banyak diucapkan di masa pembagian rapor. Kalimat yang membuat hati miris, karena dua hal:

Pertama, kalimat ini pertanda bahwa pencapaian pembelajar dianggap identik dengan peringkat/ranking, yang ditentukan oleh nilai akademisnya. Pola pikir seperti ini adalah pola pikir purba dan pabrik.

Purba, karena ini pikiran konvensional (kalau tak dibilang kolot), yang menganggap prestasi itu ranking. Pabrik, karena di zaman revolusi industri mesin uap, pabrik-pabrik mulai menjamur dan kebutuhan pekerja pabrik yang menguasai keterampilan berhitung, membaca, menulis, cepat menghapal dan menirukan.

Contohnya, membludak. Sekolah menjadi pusat pembibitan calon pekerja pabrik, yang mempersiapkan murid dengan kriteria di atas. Tentu saja setiap pabrik ingin mendapat pekerja yang terbaik dengan kriteria yang paling mampu memenuhi semua kebutuhan dari tenaga kerja pabrik tersebut.

Maka dibutuhkanlah penilaian, dengan berpatokan pada kriteria sukses yang seraga. Terlepas dari beragamnya kecerdasan murid-murid. Jadilah murid yang menonjol kemampuan baca tulis hitung menghapal menirukan, berada di ranking teratas.

Murid lain yang memiliki kemampuan menonjol di bidang selain itu tak dianggap berhasil, maka mereka ada di peringkat di bawahnya. Seperti karikatur yang pernah dilihat ketika ujian memanjat diberikan kepada ikan, kura-kura, gajah dan monyet, jelas monyet juaranya.

Kedua, kalimat ini, ironisnya, acapkali diucapkan oleh orangtua (dan seringnya, sedihnya, oleh kaum emak), bukan murid yang menerima rapor sendiri. 


Sehingga muncullah rasa penasaran: siapa yang lebih deg-degan ingin tahu nilai di rapor? murid atau orangtua? Lalu pikiran berkembang: benarkah orangtua fokus pada pencapaian anaknya, atau pada gengsi sebagai orang yang melahirkan, membesarkan seorang juara? Itupun juara zaman purba dan pabrik seperti di poin pertama.

Pemikiran Purba di Zaman Now

Zaman revolusi mesin uap (Revolusi Industri 1) sudah dua abad lebih berlalu. Kini manusia telah pula hidup di zaman revolusi data (Revolusi Industri 4). Pencapaian lulusan sekolah harusnya bukan cuma dari sisi akademi, karena fungsi operasional pekerja pabrik, kemampuan calistung hapal tiru manusia sudah tergantikan, bahkan terkalahkan oleh mesin dan robot.

Hal yang tak tergantikan oleh mesin adalah karakter, dan kemampuan sosio-emosional seperti empati, negosiasi, berstrategi. Jadi, ranking yang hanya mengurutkan peringkat murid berdasarkan pencapaian akademis, sungguh tak relevan dengan saat ini. Sungguh!

Lalu untuk orangtua yang begitu getol mengharapkan dan membandingkan peringkat anaknya dengan anak lain, ini berkaitan jelas dengan ranking, sehingga pasti saling membandingkan itu tetap terjadi. 


Seharusnya dipahami bahwa ini menjadi tekanan batin bagi si murid, karena tuntutan harus meraih ranking setidaknya lima besar, dan dibanding-bandingkan dengan anak lain.

Seharusnya pencapaian pembelajaran itu adalah saat anak berubah, dari tidak/kurang menjadi mampu. Jadi yang dibandingkan adalah perubahan pada dirinya sendiri dalam segala aspek, bukan dibandingkan dengan anak lain. 


Namun orangtua acapkali dibutakan oleh ambisi pribadinya melihat peringkat anaknya di rapor masuk lima besar, hingga tak sadar bahwa anaknya tertekan, tak bahagia dan akhirnya beranggapan sekolah itu beban.

Orangtua pun getol mendaftarkan anak kursus ini-itu, sampai-sampai anak dari usia SD bahkan TK pun habis waktunya dalam sehari untuk sekolah dan les. Tertidur dalam mobil, pulang sudah malam, lelah.

Betapa menyedihkan hidup anak zaman now. Tak lagi sempat bergaul dengan anak tetangga, tak memiliki waktu bermain di luar rumah.

Melalui usaha kerasnya, orang tua seringkali tak sabar dan mengambil alih hal-hal yang seharusnya dilakukan anak, seperti membuatkan tugas, bahkan saat hari pertama sekolah, kerap terjadi orangtua yang berebutan duduk di kursi paling depan.

Anaknya diam dan melihat. Maka tumbuhlah si anak dengan pikiran bahwa ranking harus diperjuangkan dengan segala cara, dan bila mentok, nanti juga "mamaku" yang membereskan.

Anak juga tumbuh jadi peragu, karena tidak banyak punya kesempatan melatih kemampuan mengambil keputusan. Pasif, menunggu orangtua atau orang lain yang memutuskan.

O, sedihnya!

*Penulis adalah 
Kepala Sekolah di Singapore School Medan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.