Tragedi Konflik Aceh; Memaafkan Tapi Bukan Berarti Melupakan
![]() |
Ilustrasi foto konflik Aceh, sumber: steemit.com |
Sejarah tragedi kemanusiaan yang berlangsung di Aceh dalam waktu yang cukup lama, yakni sepanjang kurun 1976-2005 seyogianya membuka kembali ingatan terkait betapa kejamnya penyiksaan yang pernah diterima oleh saudara-saudara sebangsa di Aceh.
Kala itu, saudara-saudara kita hidup dalam penuh ketakutan. Setiap derap langkah serdadu yang mereka dengar kala itu, membuat mereka bertanya-tanya akankah mereka yang akan dibawa pergi, untuk di sekedar diinterogasi atau justru berakhir tragis seperti korban-korban lainnya.
Saat para serdadu organik dan BKO atas nama menjaga keutuhan NKRI telah berlaku semena-mena terhadap rakyat. Demikian pula GAM, atas nama kemerdekaan Aceh pun berbuat dengan sesuka hatinya. Elemen sipil dianggap “cuak”, diduga GAM, dikorbankan begitu saja tanpa alasan yang jelas. Mengapa? Karena elemen sipil bukanlah kombatan, tidak pula memiliki nilai tawar.
Di saat konflik berkepanjangan hingga ada yang menghitung kasar 30-an tahunan, mayat-mayat tak berdosa yang berdarah Aceh itu bertebaran di jalanan. Mereka disiksa di barak-barak militer dengan siksaan diluar akal sehat, para perempuan dirampas kehormatannya.
Fasilitas publik diluluhlantakkan, eksodus, sweeping, dan berbagai bentuk kekejaman lainnya mewarnai hari-hari buruk rakyat Aceh kala itu. Rakyat Aceh berteriak, mereka menangis, mereka memohon perlindungan. Mereka sudah tidak kuat lagi. Namun, apakah negara peduli?. TIDAK !, mereka tidak peduli, mereka terlalu sibuk memperjuangkan nilai-nilai yang mereka inginkan, tanpa peduli bahwa sebenarnya mereka telah menista nilai kemanusiaan.
Orde Baru dan orde setelah reformsi 98' agaknya tak mengubah tabiat mereka. Mereka tetap bersikap represif terhadap Aceh dengan berdalih atas nama stabilitas dan keutuhan NKRI. Jeritan-jeritan yang menuntut keadilan, referendum, dan keinginan-keinginan untuk merdeka dengan tegas dijawab dengan operasi militer.
Serdadu yang mereka kirimkan ke Aceh, laksana killing machine. Bukan hanya meredam gerakan perlawanan, atau sekedar mendinginkan suasana. Tapi, serdadu hadir dengan melahirkan kekejaman terhadap rakyat sipil yang tak berdosa. Jika negara sudah tidak peduli, lantas kemanakah rakyat sipil tersebut harus mengadu?. Akhirnya, kurun waktu yang tidak singkat tersebut menjadi hari-hari kelam bagi rakyat sipil.
Mengapa Konflik Terus Terjadi?
Ketika di Aceh mengalami kekosongan hukum, Aceh tak memiliki pemimpin yang memiliki otoritas yang penuh. Selama ia memiliki pasukan tempur dan senjata yang memadai, maka ia bisa berlaku bak raja rimba dengan aturan yang ia perbuat sesuka hatinya.
Para mahasiswa dan pelajar sebagai generasi muda Aceh atau sebaga generasi yang memperjuangkan nilai-nilai keadilan sudah seharusnya merawat kembali ingatan tentang konflik. Namun meski kondisi hari ini konflik Aceh telah berlalu bukan berarti semua pekik penderitaan rakyat Aceh tersebut boleh dilupakan.
Tragedi-tragedi berdarah yang pernah menimpa generasi-generasi sebelum Tsunami 2004 yang menjadi titik balik damainya Aceh dengan Republik Indonesia adalah sebuah ikhtibar, penting dikisahkan dan selalu dilawan agar tak dilupakan, sebab melupakan adalah penistaan sejarah0.
Sepatutnya harus dimengerti dengan baik bagaimana kejamnya tragedi penyiksaan di Rumoh Geudong, Tragedi KNPI, Peristiwa Manderek, Pembantaian Bantaqiah, Simpang KKA dan ribuan peristiwa tragis lainnya tak terhitung secara angka dan data, meskipun telah dicoba sepakati dalam ruang perdamaian yang telah digelar ditandai dengan penandatanganan MoU di Helsinky 2005.
Rakyat Aceh tidak boleh lupa, akibat perlawanan GAM, negara memberlakukan begitu banyak operasi militer di Aceh. Tak hanya sekedar Operasi militer biasa, namun operasi militer tersebut telah mengorbankan begitu banyak jiwa-jiwa yang tak berdosa. Ribuan kisah penyiksaan dan penghinaan terhadap hak-hak manusia.
Saat Aceh bagai berada dalam sebuah lorong gelap. Peradaban gemilang yang dirasakan sebelum itu, tak berarti sama sekali. Semua jasa Aceh yang dikorbankan untuk negeri dianggap tidak pernah ada. Mungkin, apabila Tsunami Aceh tahun 2004 silam tak terjadi, genosida terhadap rakyat Aceh pun tak kan berhenti seperti sekarang.
Ada begitu banyak kisah suram di era lampau untuk terus menjadi pengingat, bahwasanya setiap bangsa kita bersengketa dengan negara Indonesia, bangsa kita diperlakukan sebagai musuh yang tak pantas dianggap sebagai manusia.
Setiap kali berkonflik, darah pun akan berkubang dan hukum akan mati. Siapa yang berkuasa?. Hanya nafsu angkara semata. Mengingat kisah-kisah tragis yang pernah melanda saudara-saudara sebangsa bukan berarti mengungkit masa lalu.
Luka tetaplah luka. dosa tak akan berubah menjadi mawar harum. Para generasi muda Aceh akan tetap menggugat. Tetap menuntut hak-hak saudara setanah air yang belum tertunaikan. Mengapa?. Sebab rakyat Aceh tidak lupa serta terus percaya, bahwa tidak akan ada masa depan jika justru gagal menyusuri masa lalu dan meletakkan monumen yang adil berdasarkan hukum dan perundang-undangan sipil maupun militer.
Kini, lorong gelap tersebut telah berlalu. Namun luka tersebut masih tetap ada. Rakyat Aceh belumlah benar-benar akan sembuh, dan kalian para pembunuh sebangsa belum meminta maaf!.
*Penulis adalah mahasiswi jurusan Sosiologi Agama di UIN Ar-Raniry.
Tidak ada komentar