STATEMENT MAKAR: Senjata Pemerintah Indonesia dalam Membungkam Rakyat Papua

Sumber foto: m.kbr.id
Oleh: Khaliza Zahara

Berbicara masalah makar kerap sekali disandingkan dengan beberapa kejadian mahasiswa Papua atau beberapa kejadian yang mengkritik pemerintah malah dikategorikan dalam tindakan makar.

Banyak sekali siklus rasisme terhadap mahasiswa Papua terlebih di Jawa tak pernah siap dikendalikan oleh Pemerintah Indonesia sendiri di Jakarta.

Sebagai contoh pada saat memperingati hari kemerdekaan RI yang ke-74 lalu, saat itu segelombang orang papua menumpahkan kekecewaan di Jayapura, Ibu kota Papua Barat serta Kota Sorong.

Di Jayapura, lautan manusia berdemo dengan berjalan kaki sepanjang 18 kilometer dari Wamena yang merupakan pusat keramaian di kota tersebut, menuju kantor gubernur menuntut akar permasalahan rasialisme terhadap orang Papua yang harus dihentikan.

Gubernur papua Lukas Enembe bahkan tegas mengatakan bahwa "Kami bukan bangsa monyet, kami manusia" ini adalah buntut kekecewaan orang-orang Papua yang bahkan berujung pada perusakan semua atribut negara mulai dari pembakaran gedung parlemen sampai melumpuhkan aktivitas dan mobilitas warga.

Lantas apa sebenarnya makar tersebut? dan mengapa seolah-olah pemerintah sangat giat mengkampanyekan agar tindakan makar dibumi-hanguskan dari muka bumi? Mengapa seakan-akan tindakan makar ini sangat ditakutkan oleh pemerintah? atau bahkan pemerintah menggunakan kata-kata makar untuk melindungi rezimnya.

Maka apa sebenarnya arti makar yang dituangkan dalam KUHP saat ini? Sebenarnya definisi makar tidak tertulis, hal inilah yang menimbulkan multitafsir dan spekulasi di antara aparat penegak hukum dan ahli hukum.

Nah, dalam RUU KUHP sebenarnya sangatlah sederhana yang membicarakan pasal makar, salah satunya Pasal 167 RUU KUHP yang menyatakan;

'Makar adalah niat untuk melakukan sesuatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut.' Jadi artinya apa? Tindakan seseorang tergolong tindakan makar yaitu apabila tindakannya itu tersistematis.

Nah, lalu bagaimana dengan beberapa kasus yang seolah-seolah pemerintah mengklaim bahwa tindakan yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa Papua yang padahal mereka hanya ingin menyuarakan keadilan yang dirasanya telah dinodai oleh oknum-oknum yang hanya melindungi dirinya atas nama hukum, suatu hal yang sangat disayangkan memang, tetapi apa boleh buat?

Seakan merdeka bukan milik semua orang, tetapi hanya milik segelintir orang saja, padahal mereka sudah dengan gamblang memperjuangkan keadilan. Selain pasal tersebut masih ada beberapa pasal yang bercerita tentang Makar.

Padahal sejak awal, penangkapan aktivis-mahasiswa Papua di Jakarta penuh kejanggalan, termasuk ketika mereka dihalangi dapat asimilasi. Akar masalahnya adalah pasal makar yang tafsirannya amat karet.

Atau bahkan pemerintah mempunyai tujuan lain agar semua aliansi termasuk mahasiswa yang peka terhadap kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah untuk membungkam agar akal rasional dari seorang mahasiswa terus dicederai kewarasannya, dengan membungkan seribu bahasanya inilah senjata pemerintahan kita yang anti kritikan.

Dari sinilah sangat jelas terlihat bahwa pemerintahan kita sedang gencar- gencarnya membungkam hak-hak dari masyarakat, padahal sudah sangat jelas semua hak pribadi tiap orang dijamin dan diamanatkan oleh undang-undang termasuk hak untuk menyatakan pendapat.

Nampak dengan jelas pemerintahan sangat anti terhadap kritikan, kritikan yang diberikan malah pasal makar yang dilayangkan. Lantas apa yang seharusnya kita perbuat sebagai rekan berfikir? Apa kita harus menerima semua ketentuan yang diberlakukan pemerintah?

Walaupun ketentuan yang diberlakukan pada hakikatnya mencederai tujuan hukum. Akankah kita menerimanya begitu saja tanpa memikirkan substansinya ke depan? Akankah hal ini terus berlanjut? Ataukah kita hanya penyaksi atas pembungkaman yang dilakukan oleh pemerintah?

Ataukah kita mau mengambil peran langsung atas ketidakpastian yang dilakukan oleh pemerintah? Mari sama-sama kita jadikan hal yang pernah dialami oleh beberapa saudara kita yang berada di Papua untuk menjadi pelajaran.

Terus mengawal semua kinerja pemerintah agar tidak sekedar mengeluarkan peraturan yang substansi dari peraturan tersebut mereka tidak mengetahui dan malahan mencederai eksistensi sebagai pemerintah yang pada hakikatnya sang pembuat kebijakan.

Jangan sampai kita terlena dengan tepukan tangan yang tanpa disadari tepukan itulah yang akan membungkam semua hal yang ingin disuarakan, karena nyamuk mati juga karena tepukan.

Sepatutnya sebagai pemerintah janganlah sampai membuat masyarakat seakan tak acuh dengan ketentuan yang diberlakukan, karena eksistensi adanya pemerintah adalah untuk mengakomodir semua keluh kesah yang dirasakan oleh masyarakat, bukan malahan pemerintah yang menjadikan dirinya beban bagi masyarakat.

 *Penulis adalah mahasiswi Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.