Pemerintah Aceh Dalam Penanggulangan Pandemik Covid-19 Tidak Terarah

 

Banda Aceh – Komisi V DPRA menilai rencana pemerintah Aceh dalam penanggulangan pandemic Covid-19 sangat amburadul dan tidak terarah. Hal itu disampaikan ketua Komisi V DPRA, M Rizal Falevi Kirani, dalam konfrensi pers diruang Banmus DPRA, usai gagal melakukan pertemuan dengan Plt Gubernur, Jumat (07/08/2020).

Menurut M Rizal Falevi Kirani, pihaknya sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah agar menyusun rencana yang jelas terhadap penanggulangan pandemic ini. Sebagai contoh saja, misalnya dalam menyampaikan informasi secara detail terkait kasus Covid-19. Jika ada pasien positif, dibuka saja karena ini bukan aib. Tetapi sampai hari ini masih ada yang dibatasi.

“Seharusnya, apabila muncul pasien baru yang positif Covid-19, pemerintah harus memberitahu datanya secara detil agar masyarakat bisa menjaga diri. Selama ini, hanya diberitahu cakupan kecamatan, sementara dalam satu kecamatan ada beberapa desa sehingga warga hanya bisa apatis dengan kondisi tersebut”.

Senada dengan itu, anggota Komisi V DPRA, dr. Purnama Setia Budi, Sp.Og meminta Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah agar mengambil sikap tegas dalam penanganan Covid-19 seiring melonjaknya kasus pasien positif. Pihaknya menawarkan supaya Pemerintah Aceh segera menerapkan skema Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Ia menyampaikan hal itu mengingat kasus positif Covid-19 terus terjadi peningkatan di Aceh dalam kurun waktu dua pekan belakangan ini. Bahkan hingga Jumat 7 Agustus 2020, jumlah pasien positif sudah menyentuh angka 545 orang.

“Ini menjadi tanggung jawab Pemerintah Aceh. Kita ingin melihat bagaimana planing Pemerintah Aceh ke depan dalam penangganan Covid-19. Saya pribadi sangat kecewa sekali ternyata beliau tidak hadir dalam pertemuan ini dan tanpa ada pemberitahuan,” katanya.

Terkait dengan melonjaknya kasus positif Covid-19, dr Purnama menyakini masih banyak pasien positif yang datanya disembunyikan oleh pemerintah. Menurutnya, pemerintah tidak transparan dalam mengeluarkan data kasus Covid-19.

“Saya melihat sepertinya pemerintah belum menyampaiakan informasi terkait jumlah kasus positif secara jujur. Dimana ada data-data dari kasus Covid-19 yang tidak dibuka oleh Pemerintah Aceh. Sehingga kita bisa melihat banyak kasus yang muncul terlambat diberitahukan ke luar,” ungkapnya.

Dia mengambil contoh kasus yang menimpa keluarga mantan gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Yuni Saputri. Menurut Irwandi dalam postingannya di media sosialnya bahwa hasil swab Yuni sudah keluar 31 Juli tapi baru diumumkan pada 3 Agustus 2020.

“Ini menyebabkan yang bersangkutan sudah berjalan kemana-mana. Sehingga penyebaran virus ini sangat berbahaya. Ini menjadi tanggungjawab Pemerintah Aceh. Kami sangat kecewa dengan ketidakhadiran Pemerintah Aceh dalam pertemuan ini,” tukasnya.

Lebih lanjut, dr Purnama juga menyampaikan bahwa dirinya melihat Pemerintah Aceh seperti tidak siap dan ada ketakutan ketika kasus postif merangkak ke angka 100. Dia melihat ada beberapa informasi yang disembunyikan ke publik dengan anggapan peningkatan kasus bisa terlihat menurun.

“Saya melihat dari beberapa kasus Covid-19 sejak pertama merebak, ada beberapa informasi yang saya lihat terkesan disembunyikan. Ketika kasus Covid-19 sampai pada angka 100 seperti ada ketakutan dari Pemerintah Aceh. Sehingga dibuat seolah-olah kasus ini agak menurun kembali,” ungkap dia.

Purnama menambahkan, secara logika, sambungnya, apabila satu orang terpapar virus maka beberapa orang lain yang berada di sekitarnya juga akan terinfeksi virus. Kalau ada 100 orang berarti ada 500 orang di luar yang masih berkeliaran. Informasi ini yang tidak diberitahukan oleh Pemerintah Aceh.

Selain itu, Purnama juga menyorot para tenaga medis dan pemerintah yang tidak pernah memberi tahu kepada masyarakat yang terinfeksi virus agar tidak melakukan keluyuran setelah diambil swab. Sehingga si pasien tersebut karena merasa tidak diberitahukan, pergi kemana-mana, bahkan di tempat keramaian. Sementara informasi bahwa hasil swab pasien tersebut positif baru disampaikan pada hari kelima.

Seharusnya, ungkap dr Purnama, Pemerintah Aceh sudah melakukan action. Bukan hanya menyuruh ASN memakai penutup wajah (Face Shield). Apakah ini disediakan pemerintah atau tidak, kata dr Purnama, ini juga menjadi pertanyaan kembali.

"Dengan meningkatnya kasus Covid-19 serta banyaknya rumah sakit dan Puskesmas yang tutup, seharusnya Plt Gubernur bisa menerapkan PSBB. Namun sangat diisayangkan, sampai saat ini belum dilakukan. Pemerintah sampai saat ini hanya menghimbau masyarakat melalui baliho dan sebagainya. Belum ada tindakan yang nyata, padahal keadaan sudah semakin darurat," tutupnya.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.