Korban Ganti Rugi Lahan Pembangunan Jalan Tol Sibanceh Mengadu ke Komisi I DPRA

 

Banda Aceh – Kendati ruas tol Sigli-Banda Aceh (Sibanceh) sudah diresmikan oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, ternyata masih menyisakan persoalan ganti rugi pembebasan lahan. Hal itu terungkap  ketika Komisi I DPRA menerima pengaduan dari salah satu korban ganti rugi pembebasan lahan pembangunan jalan tol Sibanceh, Rabu (09/09/2020).

Suparman pemilik lahan mengisahkan kepada Komisi I DPRA bahwa, hingga saat ini dia bellum menerima ganti rugi lahan miliknya. Sebab, menurutnya ganti rugi yang ditetapkan oleh panitia pembebasan lahan pembangunan jalan tol Sibanceh tidak sesuai. Menurutnya besaran nilai ganti rugi tersebut ditetapkan sepihak oleh panitia bukan merupakan kesepakatan bersama.

Selain itu, nilai ganti rugi yang ditetapkan pihak panitia juga berdasarkan penyamarataan dengan masyarakat pemilik lahan garap. Sedangkan ia memiliki hak milik bersertifikat yang sah atas lahan tersebut. Namun, pihak panitia tidak mengakui sertifikat tanahnya itu yang sudah didapat sejak tahun 1999. Sedangkan panitia menilai ganti rugi berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan tahun 2014 bahwa lahan tersebut dalam kawasan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI).

Merespon itu, anggota Komisi I DPRA Fuadri, S.Si., M.Si mengatakan, laporan dari masyarakat ini menjadi bahan masukan bagi pihaknya, bahwa dalam proses pembebabasan lahan pembangunan jalan tol Sibanceh itu ternyata masih ada masalah. Tentunya masalah yang disampaikan tadi secara proses hukum sebenarnya sudah selesai.

Cuma ada mis yang kita tangkap disitu, terutama menyangkut dengan status kepemilikan. Karena berdasarkan pengakuan pak Suparman, bahwa lahan beliau itu merupakan lahan yang sudah diberikan haknya oleh Negara yaitu dengan bukti sertifikat yang dikeluarkan tahun 1999. Sementara disisi lain, Negara juga mengeluarkan konsesi pada tahun 2014 dilokasi yang sama.

Sehingga ini yang menjadi dasar Komisi I memanggil pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan pihak terkait untuk mengkonfirmasi dan juga meminta penjelasan sebenarnya. Khusunya terkait seberapa  banyak lahan masyarakat yang sudah dikeluarkan sertifikat ada tumpang tindih dengan konsesi di Aceh.

“Ya mungkin pak Suparman ini hanya salah satu contoh kasus, saya yakin banyak kasus lainnya yang tidak terekspos. Kenapa ini bisa terjadi, dan apa solusi yang bisa kita lakukan kedepan, sehingga kita bisa menyelamatkan hak-hak rakyat,” ujarnya.

“Kita akan minta BPN dan pemerintah Aceh mengambil peran, supaya lahan-lahan masyarakat yang masuk dalam konsesi yang sudah pernsh dikeluarkan hak milik untuk dapat diusulkan untuk dikeluarkan dari lahan konsesi tersebut. Agar tidak menimbulkan konflik antara pihak pemegang konsesi dengan masyarakat,” imbuhnya.

Sementara itu ketua Komisi I DPRA Tgk M Yunus Muhammad Yusuf menambahkan, menjawab keluhan masyarakat Aceh khususnya dalam hal konflik lahan, Komisi I akan memfasilitasinya semampunya. Tentunya, secara formal komisi harus disurati, dengan dasar itu kita akan memanggil BPN, Dinas Kehutanan, Biro Hukum, dan pihak terkait lainnya untuk menindaklanjuti keluhan masyarakat tersebut. Ia melanjutkan, sebagaimana yang disampaikan tadi, bahwa konflik pertanahan di aceh cukup tinggi. Sehingga kita akan mempercepat lahirnya Qanun Pertanahan. Karena, kalau tanpa aturan, sangat sulit menyelesaikan permasalahan pertanahan di Aceh.

“Kami rasa itu dapat menjadi bagian dari solusi. Sebab, pusat melakukan dengan peraturan-peraturan dalam menyelesaikan persoalan pertanahan.  Sedangkan untuk di Aceh belum ada solusi, sebelum kita membuat Qanun. Dinas sudah ada, namun qanun belum. Sehingga, berkaitan dengan masalah tanah, kita sekarang selalu merujuk pada BPN,” tutupnya.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.