Terus Berkiprah: Pentasagoe Gelar Event Denyut Seni di Musim Pandemi
Banda Aceh – Pentasagoe yang sudah dikenal oleh masyarakat Aceh dengan konsep pementasan menyelamatkan kesenian daerah Aceh kembali melanjutkan kiprahnya, kali ini dengan menggelar event bertajuk "Denyut Seni di Musim Pandemi" dilaksanakan atas dukungan penuh Taman Seni dan Budaya Aceh, Minggu (3/10/2021).
Awal mula perjalanan Pentasagoe dimulai tidak
lama setelah peristiwa bencana alam Tsunami. Sebelumnya Pentasagoe masihlah sebagai
panggung kecil kesenian di Aceh hingga terus berkembang menjadi wadah bagi para
seniman melestarikan kesenian Aceh.
Saat ini Pentasagoe segera menggelar penampilan kesenian Aceh yang diberi tajuk "Denyut Seni di Musim Pandemi" yang menyuguhkan 10 kelompok kesenian sebagai upaya nyata terus berkiprah mendukung perkembangan berkesenian di Aceh meskipun cukup mengalami banyak tantangan akibat pemberlakukan pembatasan program kesenian yang tujuannya sebagai urgensi dalam mengatasi dan mewaspadi pandemi Covid-19.
Pementasan Denyut Seni di Musim Pandemi oleh Pentasagoe dilaksanakan bekerjasama dengan UPTD Taman Seni dan Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Penampilan para sanggar seni dapat ditonton mulai tanggal 4 s/d 5 Oktober 2021 di Channel YouTube Taman Budaya Aceh.
Berikut Linknya
https://www.youtube.com/channel/UC8jE3ShBTmz6d9ESJEJ5_6g .
Kiprah Pentasagoe
Kiprah Pentasagoe semakin terasa penting sebab meskipun merupakan
lembaga kebudayaan kecil non formil, lembaga ini terus fokus pada kesenian, pelaku
seni dan didukung oleh seniman dalam berbagai kelompok yang dianggap
berpontensi.
Makna “Sagoe” dalam kata “Pentasagoe” adalah bagian kecil
atau masih tersembunyi di berbagai sudut (bahasa Aceh;sagoe) karena termarginalkan
oleh cara pandang suatu kebijakan maupun oleh suatu keadaan.
Menurut pencetusnya Muhammad Yusuf Bombang atau yang dikenal dengan sebutan Apa Kaoy Pentasagoe pertama kali hadir saat Aceh masih dalam keadaan porak-poranda di segala hal pasca konflik politik yang berkepanjangan serta gempa Tsunami Aceh yang juga berimbas kepada kebudayaan.
Acara Pentasagoe digelar dengan membuat sebuah panggung
kecil di sudut kiri belakang gedung utama Taman Budaya Aceh setelah MoU
Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, berselang tiga hari dari pengumuman yang
menggembirakan tepatnya pada
tanggal 18 Agustus 2005 Pentasagoe
digelar.
Sejak tanggal 18 Agustus 2005 Pentasagoe berlangsung rutin setiap malam Minggu di sudut Gedung Utama Taman Budaya hingga beberapa tahun kemudian, tanpa ada tercantum nama sponsor ataupun donatur di spanduk atau backdrop acara.
Setelah hampir dua tahun acara Pentasagoe pindah di panggung
halaman Taman budaya, namun pada saat itu mengalami berbagai kendala sehingga
pementasan mengalami kevakuman.
“Karena saya sering pergi keluar Banda Aceh hingga beberapa bulan maka Pentasagoe pernah saya percayakan kepada beberapa teman, namun berjalan kurang sesuai dengan konsep semula maka saya berkesimpulan untuk menghentikannya sementara waktu dan berlangsung hingga beberapa tahun,” ujar Apa Kaoy kepada www.koranaceh.net.
Tahun 2009 pentasagoe secara perlahan berpindah menyewa tempat baru lengkap dengan sarana pendukung seperti warung kopi dan Wi-Fi di Lampaseh Kota Banda Aceh.
Pentasagoe di Lampaseh tidak digelar rutin seperti di Taman Budaya karena keterbatasan dana, ia mengungkapkan bahwa pada saat itu Kadisbudpar Aceh pernah turut memberikan dukungan terhadap Pentasagoe.
“Acara pentasagoe pernah dua kali didukung oleh Disbudpar Banda Aceh, saat itu Kadisnya adalah Reza Fahlevi,” ujarnya.
Pentasagoe menghadirkan para seniman dari Aceh, luar Aceh bahkan luar negeri, seperti kelompok Agam Hamzah (pemusik Nasional asal Aceh yang menetap di Jakarta), dan Natsuko Tezuka (penari kotemporer Jepang) berkolaborasi dengan beberapa seniman dan kelompok seni Aceh untuk berbagi pengalaman dan menumbuhkan rasa percaya diri.
Selain lebih fokus pada kesenian, Pentasagoe juga pernah menggelar kegiatan sosial, diantaranya Do’a bersama dari Aceh untuk korban gempa-Tsunami Jepang pada Maret 2011, lomba melukis dan menulis puisi dari anak-anak Aceh yang hasil karyanya dikirim langsung melalui sebuah Lembaga Kemanusiaan di Jepang, Tono Magokoro Net.
Pertengahan Tahun 2015 Pentasagoe kembali fakum karena persoalan tempat, hingga pada 10 Desember 2015 perlahan kembali mempersiapkan panggung untuk Pentasagoe di warung kopi yang diberi nama Pensagoe Coffee Shop.
“Alhamdulillah, untuk tahun 2016 ini Disbudpar Aceh melalui Taman Seni dan Budaya Aceh memberi sedikit dukungan dana untuk mengadakan acara Pentasagoe, yang kemudian kami minta dapat dijadikan 10 kali acara,” ujarnya.
Meskipun sebelumnya Pentasagoe telah mengadakan beberapa acara, namun untuk tahun 2016 merupakan edisi perdana Pentasagoe digelar.
Selain kelompok kesenian dari Banda Aceh, juga turut hadir seniman tutur dari Manggeng, Pantai Selatan Aceh, yang selama ini tersebunyi Muda Balia, putra kandung, sekaligus murid Mak Lapee, guru Teungku Adnan PMTOH.
Tidak ada komentar