Membaca Tamsil Puisi LK Ara; Langit Senja Diatas Rerebe


Ilustrasi cuplikan perjalanan Air Terjun Rerebe, Gayo Lues. 
Dok. LK Ara


Oleh: Muhammad, M. Pd


Pendekatan sebuah puisi bisa saja dimulai dengan mengetahui latar penciptaan, tempat lahirnya puisi, demi menguak cakrawala yang mungkin saja dapat segera ditangkap pembaca dalam sematan-sematan bait-baitnya.

Puisi juga merupakan catatan suatu rangkaian nuansa suasana dari perasaan penyair ketika keberadaan penulisan, ada juga yang disimpan sementara waktu singkat dan kemudian dengan segera ditulis-nukilkan dalam rangkain lengkap.

Rerebe adalah satu setting-latar alias tempat tersematnya ingatan dan suara batin LK Ara dari puisi yang tajuknya jelas menyebut nama lokasi wisata berupa air terjun di kawasan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues.

Keindahan Rerebe sangat mencolok dari warna kolaman air terjun yang mengalir di lokasi berjarak kurang lebih 1 jam perjalanan dari Kota Blangkejeren. Air terjun berwarna hijau kebiru-biruan membawa kesejukan pandangan mata pengunjung.

Penyair Indonesia berkelahiran Aceh, LK Ara merupakan penulis puisi paling produktif dengan etape penerbitan karya antologi hampir tiap tahunnya, LK Ara juga merupakan pembaca puisi yang produktif berpanggung, di era masa kini, karya puisi dan baca puisi digelutinya secara konsisten lewat peng-upload-an di aplikasi YouTube akun miliknya.

Pembacaan puisi Langit Senja Diatas Rerebe
-cuplikan-

Telah Ia turunkan
Bagi hamba
Dalam perjalanan ini
Sesayat sepi
Untuk mengenal diri
Untuk pertemuan abadi

Sebuah puisi tidak semata lahir membawa keindahan, muatan lapis arti/makna yang menggugah turut dituang melengkapi potensi lapis bunyi yang merupakan tampilan bahasa berjenis sastra.

Sastra puisi pada dasarnya juga merupakan perpaduan bentuk dengan makna, bentuk yang mengemuka dari puisi Langit Senja Diatas Rerebe adalah tipografi penanda bait dalam sebaran angka 11 sekaligus menjadi pertautan sejumlah 11 bait itu menjadi rangkaian kesempurnaan.

Dua diksi utama yang menggambarkan narasi sebar dari puisi ini adalah "Senja" dan "Rerebe". Senja dijabarkan dalam kontekstualitas yang melingkupi padanan:

(1)Langit memudar/(2)Sungguh sangat singkat/(3)Jejak ditinggal pergi/((4)Mencatat perjalanan_yang tak panjang/(5)Yang tak sempat_Ia saksikan/(7)Pertemuan singkat_Cahaya yang luruh(8)Senja yang terbentang_Langit semakin samar_Bukit memudar_Akan jatuh kepelukan malam/(9)Jalanan sunyi_Terasa semakin sepi_Yang semakin sunyi/(10)Perjalanan malam_Tenggelam kedalam lembah_Alam yang basah.

Sedangkan diksi Rerebe merupakan penanda utama bahwa puisi tersebut memang-lah membicarakan keadaan sekaligus keberadaan sosok yang dikisahkan dalam puisi, Rerebe adalah setting-latar utama kejadian, peristiwa dan pelekatan suatu kisah sebagai tempat yang dengannya melekatlah nuansa nada-suasana dari puisi.

Setidaknya dalam lampiran langsung di puisi disebutkan selain pada judul, Rerebe juga di ulang penulisannya pada; (5) air terjun/(6)kolam air_berwarna biru/serta pada titimangsa Rerebe, Januari 2022.

Setelah menelaah sebaran diksi dan 'ramuan' ilustrasi pikiran yang dibuktikan dari logika narasi terlampir dari karya penyair LK Ara dalam puisinya tersebut, pembaca dapat menghadapi ulasan atau lapisan makna juga perasaan berafiliasi mengurai tema alam yang sebenarnya hendak disampaikan.

Alam dimaksud adalah kesadaran batin tentang bagaimana dua rasionalitas diksi Rerebe dan Senja mengetengahkan pemikiran yang menghadirkan penyadaran dari dua rangkaian utama tersebut.

Sebelumnya telaah tamsilan puisi yang tergolong pendek dan singkat tiap baitnya ini dapat dimulai dari (justru) bait terakhir puisi dimaksud, yaitu bait 11;

Suatu ilham atau penyadaran dapat saja diperoleh dari ragaman alam raya yang secara fisikal mengetengahkan nilai penciptaan, alam semesta menjadi saksi dari luasnya dan megahnya kemahapenciptaan Tuhan Yang Maha kuasa, dengan itu pula rangkaian puisi LK Ara menjabarkan kepada pembacanya terkait betapa setelah ilham itu turun, lantas dirinya (pun) tersadar.

(11) Telah Ia turunkan/Bagi hamba/Dalam perjalanan ini/Sesayat sepi/Untuk mengenal diri/Untuk pertemuan abadi. 

Penelaahan puisi dalam lapis makna didominasi oleh perulangan/repetisi diksi sunyi dan diksi serupa;

(3)Akan Terasa semakin sepi/(7)Suasana subuh/(9)Jalanan sunyi_Terasa semakin sepi_Yang semakin sunyi/(11)sesayat sepi.

Melalui menghadirkan perulangan diksi sunyi dan serupa dengan maksud memberikan penekanan nada-suasana sekaligus mengilustrasikan peranan rasa dan intuisi pembaca, 

LK Ara lewat puisinya tersebut membawa kehendak agar kehadiran puisi sekaligus upaya puisi dapat membawa permenungan, perasaan sunyi, hening dan keadaan yang menggambarkan ilustrasi tenang adalah salah satu cara dalam menghadirkan kesadaran.

Terutama kesadaran untuk kembali membaca alam, menyiratkan apa saja segala sesuatu di hadapan manusia dan karena tentu sulit menghadirkan kesadaran bahkan memanggil ilham (buah) dari kesadaran itu adalah melalui ketenangan, bersunyi, tidak gaduh dan sibuk.

Diksi-diksi Puncak

Suatu puisi tidak bisa dilepaskan pembacaan dan penafsirannya tanpa mengetahui teknik atau minimal pola penulisan penyair terhadap puisinya, meskipun pada tahapan ini dibutuhkan upaya parafrase, 

namun bagi pembaca yang telah mengenal gaya kepenulisan puisi sosok penyair yang karyanya hendak dikaji dapatlah mengetahui lebih mudah apa sesungguhnya maksud-maksud puisinya.

Karya-karya LK Ara pada fase dominan tahun-tahun terakhir terlihat lebih singkat dan padat, namun tidak salahnya jika dorongan membaca tamsil puisi karya penyair dalam tulisan serba singkat ini dapat dipakai untuk menginisiasi perubahan-perubahan ke depan yang mungkin saja terjadi pada puisi mutakhir para penulis 'sebanteran' LK Ara.

Dengan jumlah larik pada bait sebaran puisi Langit Senja Diatas Rerebe didominasi 4-5-6-7, dan jumlah kata pada bait sebaran 9-15 kata semata, jelaslah bahwa puisi tersebut merupakan pilihan-pilihan diksi yang secara menyeluruh dimaksudkan oleh penyair dapat sesegera mungkin mampu menghadirkan rasa dan pikir penyairnya ke hadapan sidang pembaca

bahwa alangkah mendalamnya 'daya dorong' yang setidaknya diharapkan penyair untuk seterusnya mampu menghadirkan 'peng-ilhaman' kepada sasaran, selain itu juga merupakan konsepsi puisi pada dasarnya menghendaki lahir juga kesadaran terhadap pikiran dan rasa.

Pemenuhan ilustratif yang dikehendaki penyair juga digambarkan secara relevan dari adanya ketidak-berdayaan terhadap apa yang dikehendaki. Hal tersebut dapat ditelaah dari sebaran diksi berikut;

(1)Hutan bergetar/(3)Sejak ditinggal pergi/(4)Mencatat perjalanan_Yang tak panjang/(5)Air terjun_Yang tak sempat_Ia saksikan_Semakin jelas/(6)Hanya berjumpa_Dalam kayalan semata.

Wujud ketidakberdayaan membumbui paling tidak pada bait 1-3-4-5-6 dari sebelas bait puisi tersebut, dominasi kelemahan, ketidaksempurnaan, bahkan ke-senjaan dapat saja ditafsir dari kemampuan meraih segala sesuatu yang justru mendapati tantangan dari alam sekitar.

LK Ara dalam menggubah puisi bersetting senja di Rerebe tersebut ternyata membawa sekaligus dominasi puitikal dalam tipografi pembubuhan nominal bait serta pemadatan pilihan kata serta pemersatuan keseluruhan wujud lahir-batin puisi secara penuh kesahajaan, 

atau dengan kata lain, sebagai penyair yang daya upaya(-nya) selama ini menggelorakan sastra puisi di Indonesia telah 'sanggup' memilih dengan khas dan pasti polarisasi puisi mengambil respon alam dan sebaliknya kepada keinginan-keinginan mengilhami pembacanya, 

kemudian secara bersahaja pula, penyair yang cukup disegani karena kemampuan bersastranya masih energik di usia 80-an lebih itu tidak ingin terjebak memanfaatkan kesempatan memainkan aroma puitikal secara berlebihan, 

artinya beberapa perubahan dilakukan selain untuk menggambarkan suasana batin dan pikiran juga secara sadar menciptakan puisi yang enak dibacakan namun tetap memiliki diksi-diksi puncak sebagai teknik kepenulisan yang lihai.

Tamsil Bebas

Setiap pendekatan penelaah karya sastra cenderung bermuara pada dua corong utama; intrinsik dan ekstrinsik. Sastra puisi juga demikian, namun upaya memilah keduanya juga tidak secara pasti mampu menggambarkan secara kompleks kualitas maupun keutamaan dan pedoman tafsir terhadap karya seorang penyair.

Alasan ini pun terkadang perlu ditempa oleh semangat mengkritisi ataukah mengapresiasi, padahal keduanya itu adalah bermakna perhatian para penguji karya sastra baik untuk dirinya secara teknis atau disampaikan kepada publik sebagai sebuah tugas profesi keilmiahan, yakni menulis hasil kajian (penelitian).

Terbitnya tulisan ini pun sebagai satu upaya tamsil yang dapat disebut lebih bebas daripada hendak dikatakan sambil jalan-sambil membaca, atau bisa pula sekilas pintas penulisan kajian terhadap puisi dimaksudkan sebagai pendekatan semata agar para peminat karya sastra puisi dapat setidaknya memperoleh gambaran telaah umum-bebas tentang bagaimana sebuah puisi 'bekerja'.

Setelah melewati pembacaan berulang, mencatat permukaan-permukaan yang lebih menonjol hendak disampaikan dari suatu karya puisi, pembaca yang selain membaca puisi selanjutnya dapat juga membawakan potensi temuannya itu ke dalam prinsip-prinsip penguasaan karya sastra, selain hanya berposisi sebagai penikmat karya sastra belaka.

Tamsil bebas karya sastra juga dapat dipakai untuk menambah peranan penikmatan membaca karya yang penuh ilustratif sebagaimana puisi. Kesempatan yang singkat dari para peminat bacaan di Indonesia sesungguhnya dapat dihadirkan puisi-puisi yang mudah dimaknai dan memiliki potensi nilai rasa dan nilai pikir minimum.

Kendati berbagai pihak sering menganggap membaca puisi dalam hati sekalipun ternyata cukup sulit mendapatkan 'rahasia' pemaknaan yang mendalam, namun upaya meraih atau "merebut arti" dari puisi yang diinginkan dapat membuka kebuntuan pikiran dan perasaan (sebab puisi memperkaya pikiran dan perasaan).

Karena itulah pemahaman umum terhadap puisi patutlah mendapat dukungan berbagai pihak, agar dunia perpuisian itu dapat terus berkembang, tidak menjadi sebuah tatanan yang minority bahkan kelas-kelas sosial di zaman dulu tampak lebih didominasi oleh para 'pemakan' bangku sekolahan.

Dengan demikian, kesempatan seluas-luasnya terhadap menulis dan menelaah puisi itu terus dapat sama-sama didorong pergerakannya dalam kesusastraan di Indonesia, selama masih ada saksi yang menuliskan pikiran dan perasaan 'zaman' maka saat itu pula kebudayaan dan kesenian maupun lukisan peradaban manusia masih dapat ditemui catatannya di masa depan.

*Muhammad, M. Pd merupakan lulusan PPs Unsyiah Magister Bahasa dan Sastra Indonesia 2017.


 


Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.