Perjalanan Anggaran: Antara Realisasi dan Kenyataan Rakyat Aceh

Dr. Taufiq A. Rahim

Opini: Dr. Taufiq A. Rahim
* Pengamat Ekonomi dan Politik dari Universitas Muhammadiyah Aceh

Perjalanan tahun anggaran 2024 segera menuju finish. Ini sudah bulan Oktober. Bulan Desember close, tutup buku. Tahun depan mulai lagi. 

Saban tahun begitu. APBA disahkan, dibelanjakan, lalu ludes. Tapi, apa yang tersisa dari rutinitas membelanjakan triliunan uang rakyat? Sim salabim abrakadabra. Tak ada.

Nyaris tak berbekas selain laporan realisasi dan angka-angka SiLPA. Selalu begitu dari masa ke masa. Begitulah terus berulang dan berulang dalam format yang sama, siapa pun gubernur dan anggota DPRA-nya. Apakah berbasis GAM atau pejabat kiriman dari Jawa. 

APBA nyaris tidak berfungsi sebagai instrumen untuk mengurangi angka kemiskinan. Fenomena seperti itu sangat parah terasa sejak 19 tahun lalu. 

Hampir tidak ada makna apa-apa penyerapan anggaran yang realisasinya mencapai angka maksimal. Kenapa? Karena belum terlihat korelasi antara APBA yang dibelanjakan dengan bukti nyata membebaskan Aceh dari status sebagai provinsi termiskin. Jauh panggang dari api. 

Realisasi anggaran hanya suka cita bagi mereka yang mengelolanya: anggota dewan, penguasa, kepala dinas, KPA, PPTK hingga ASN lainnya. Merekalah penikmat APBA sesungguhnya. Selebihnya hanya penonton!

Untuk tahun 2024, dari total Rp 11.024.052.017.694 APBA, hingga 20 September 2024 sudah terealisasi Rp 7 triliun lebih. Itu artinya, sekitar 68,37 persen dari total anggaran Aceh. 

Apa yang sudah dikerjakan pemerintah Aceh untuk mengurangi penderitaan rakyat dengan anggaran sebesar itu? 7 triliun Rupiah tentu bukan uang yang sedikit. Kemana dana itu dimanfaatkan? Pertanyaan paling mendasar adalah kenapa anggaran terserap habis tapi problem kemasyarakatan, terutama kemiskinan tak tersentuh?

Menurut analisa penulis, secara garis besar, setidaknya, ada dua variabel mendasar yang saling mempengaruhi satu sama lain. Kedua kutub itu adalah soal perilaku eksekutif dan legislatif.

Kesalahan yang sudah bersifat laten di tubuh birokrasi adalah faktor SDM yang tidak punya kapasitas, sehingga tidak mampu menyusun perencanaan yang bisa menjawab permasalahan di lapangan. Umumnya pimpinan SKPA tidak memiliki kecakapan yang bisa diandalkan.

Sebagai salah satu contoh, Dinas Koperasi UKM. Instansi ini harusnya bisa memberdayakan UMKM dan melatih lebih banyak masyarakat untuk terjun ke sektor ini. Tapi apa yang terjadi? Beberapa pelatihan UMKM dengan label "Dana Pokir" dilaksanakan secara asal-asalan, hanya untuk sekedar merealisasikan anggaran. 

Peserta yang dilatih bukan pelaku usaha, tapi direkrut seperti supporter bola. Walhasil, pelatihan tidak menghasilkan apa-apa selain bagi-bagi uang saku dan fee bagi pengelola proyek. 

Coba lihat juga misalnya penggunaan anggaran Dinas Kesehatan. Puluhan miliar APBA dialokasikan untuk kampanye kesehatan, tapi masyarakat tidak melihat hasilnya.

Begitu pula di dinas-dinas lainnya. Apa yang direncanakan dengan kebutuhan di lapangan tidak berjalan seiringan. Sehingga, penggunaan anggaran tidak tepat sasaran meskipun angka realisasinya tinggi.

Realisasi hanya sebatas pengertian catatan di pembukuan, tapi tidak punya makna dalam menyelesaikan permasalahan di tengah-tengah masyarakat.

Problem pertama di situ. Pengelola anggaran di SKPA tidak punya kapasitas yang cukup, sehingga tidak mampu menyusun perencanaan dengan melihat permasalahan obyektif di lapangan.

Kunci permasalahan ada di dua kutub itu. Di ranah eksekutif ada di tangan kepala SKPA, dalam hal ini di bawah koordinasi ketua TAPA. Sementara di wilayah legislatif, ada pada nurani masing-masing anggota Dewan. 

Sepanjang kedua kelompok ini masih merasa belum cukup, Aceh akan terus seperti ini. Anggaran APBA akan selalu terkuras habis, kemiskinan tetap begitu-begitu saja.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.