Bisnis dan Politisasi Kesehatan di Aceh Melalui JKA
![]() |
Ilustrasi. (Koran Aceh) |
Hamdan Budiman,
*Pemred Koran Aceh
Ketidakefektifan penggunaan anggaran dan adanya tarik ulur kepentingan dalam pengelolaan rumah sakit akan sangat berdampak terhadap menurunnya kualitas layanan kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya kolaboratif mengatasi persoalan ini.
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, namun di Aceh, isu mengenai pelayanan kesehatan menghadapi tantangan besar, terutama dengan keberadaan Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).
Di Banda Aceh, fenomena rumah sakit penerima BPJS yang penuh dan kekurangan pelayanan inap menunjukkan adanya masalah yang lebih dalam terkait dengan sistem kesehatan dan politisasi yang terlibat.
Pada semester I tahun 2024, Aceh memiliki populasi sekitar 5,57 juta jiwa, dengan 30,8 persen dari mereka atau sekitar 1,7 juta jiwa mendapatkan jaminan kesehatan melalui program JKA.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Aceh telah berusaha untuk memberikan akses kesehatan kepada masyarakatnya.
Namun, dengan anggaran lebih dari Rp850 miliar yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2024, banyak yang mempertanyakan efektivitas penggunaan dana tersebut dan dampaknya bagi pelayanan kesehatan.
Salah satu masalah yang mencuat adalah ketidakmampuan rumah sakit dalam menangani pasien dengan baik. Banyak pasien terlambat mendapatkan pelayanan inap.
Masyarakat Aceh banyak mengibaratkan penginapan antara rumah sakit dan hotel dalam hal lamanya pasien menginap menjadi indikator adanya distorsi dalam pelayanan kesehatan.
Di hotel, konsumen memiliki kebebasan untuk menentukan lamanya tinggal serta mendapatkan harga yang lebih bersaing dibandingkan dengan rumah sakit yang mengatur lama perawatan pasien yang saat ini sepertinya disesuaikan dengan tagihan BPJS atau JKA
Pengelolaan rumah sakit yang berorientasi keuntungan dan masalah fasilitas menjadi faktor penyebab akses layanan kesehatan menjadi dilema berkepanjangan.
Rumah sakit, yang seharusnya menjadi tempat penyelamatan jiwa, menjadi entitas bisnis yang mengutamakan profit.
Hal ini menunjukkan adanya ketidakpuasan dari masyarakat terhadap sistem kesehatan yang ada.
Politisasi kesehatan di Aceh juga tak bisa diabaikan. Pembangunan rumah sakit dan pengalokasian dana sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik.
Dalam beberapa kasus, pengambilan keputusan terkait alokasi anggaran untuk rumah sakit dilakukan berdasarkan pertimbangan politik, bukan semata-mata berdasarkan kebutuhan dan prioritas kesehatan masyarakat.
Kondisi ini menciptakan ketidakpastian dan ketidakharmonisan yang merugikan masyarakat, di mana uang rakyat seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka, tapi justru terjebak dalam permainan politik.
Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu ada transparansi dalam pengelolaan dana dan kinerja rumah sakit.
Pemerintah Aceh harus mengevaluasi penggunaan anggaran JKA secara efektif dan efisien agar masyarakat benar-benar merasakan manfaatnya.
Selain itu, perlunya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, termasuk dalam hal fasilitas dan tenaga medis, menjadi langkah penting untuk mencegah masyarakat bergantung pada alternatif lain yang kurang memadai.
Kondisi kesehatan di Aceh, khususnya melalui JKA, merupakan cerminan dari bagaimana bisnis dan politisasi dapat mempengaruhi pelayanan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap individu.
Diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa layanan kesehatan dikelola dengan baik, sehingga menciptakan sistem kesehatan yang adil dan merata bagi semua.
Tidak ada komentar