Efek Domino Kebijakan Tarif Resiprokal AS: Ekspor Tertekan, PHK Membayangi

Presiden AS, Donald Trump, saat menyampaikan tentang tarif resiprokal yang bertajuk "Make America Wealthy Again" di Rose Garden, Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (2/4/2025). (Foto: AFP/Saul Loeb).
Presiden AS, Donald Trump, saat menyampaikan tentang tarif resiprokal yang bertajuk "Make America Wealthy Again" di Rose Garden, Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (2/4/2025). (Foto: AFP/Saul Loeb).
Kebijakan tarif ini disebut sebagai langkah untuk menciptakan keadilan perdagangan global. Sektor otomotif dan elektronik berisiko mengalami penurunan tajam karena hilangnya daya saing di pasar AS.

koranaceh.net Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, resmi memberlakukan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap produk-produk yang di impor dari Indonesia. Kebijakan ini diputus Presiden AS ke-47 itu di Rose Garden, Gedung Putih, pada Rabu lalu, 2 April 2025, kepada 160 negara mitra dagang AS dengan dalih menyeimbangkan dan memberikan keadilan bagi perdagangan global.

Bagi Indonesia, dampak dari kebijakan ini bisa jauh lebih luas—dari industri tekstil hingga otomotif, ancaman penurunan volume ekspor dan bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemerintah Indonesia kini berpacu dengan waktu untuk menavigasi dampak buruk dari kebijakan ini. Dari diplomasi dagang hingga reformasi struktural, langkah-langkah mitigasi mulai dirancang.

***

Melansir laman resmi White House, pemerintah Amerika Serikat (AS) berargumen bahwa kebijakan tarif  ini diperlukan untuk menciptakan ruang bersaing yang lebih adil dalam perdagangan internasional.

Selama bertahun-tahun, negeri berjuluk 'Paman Sam' ini menganggap beberapa negara mitra dagang mereka telah mengambil keuntungan dari terbukanya akses pasar AS. Sementara produk atau komoditas perdagangan mereka kerap kali mengalami hambatan saat berusaha masuk ke pasar negara-negara mitra dagangnya itu. Ini, tulis laman resmi Pemerintah AS, menjadi penyebab neraca perdagangan mereka yang tengah mengalami defisit kronis.

“Tarif ini menyesuaikan ketidakadilan praktik perdagangan internasional yang sedang berlangsung, menyeimbangkan defisit perdagangan barang kami yang tengah kronis, memberikan insentif untuk menopang kembali produksi ke Amerika Serikat, dan memberikan mitra dagang asing kami kesempatan untuk menyeimbangkan kembali hubungan perdagangan mereka dengan kami,” tulis laman resmi mereka.

Menyadur Harian Kompas Edisi 2 April 2025, hambatan nontarif dari Indonesia, seperti di sektor fiskal, perpajakan, pangan, dan perizinan impor, menjadi musabab mengapa pengenaan tarif resiproksal Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara dengan perekonomian 'maju' lain di Asia dan Eropa seperti Korea Selatan (25 persen), Jepang (24 persen), dan Uni Eropa (20 persen).

Meskipun lebih rendah dari beberapa negara ASEAN lain seperti Kamboja (49 persen), Vietnam (46 persen), dan Thailand (36 persen), tarif resiprokal Indonesia tergolong tinggi di kawasan Asia. Besaran tarif 32 persen kepada Indonesia bahkan mendekati tambahan tarif yang dikenakan AS kepada Cina (34 persen). Sebelum kebijakan ini diumumkan, Cina lebih awal dikenai tarif sebesar 20 persen.

Daftar negara-negara dalam Tarif Resiprokal AS. (Foto: bloomberg).
Daftar negara-negara dalam Tarif Resiprokal AS. (Foto: bloomberg).

Masih melansir Kompas, Trump berujar, “Dalam banyak kasus, terutama dalam hal perdagangan, kawan lebih buruk daripada lawan. Kita mensubsidi banyak negara dan membuat mereka berbisnis dan maju. Mengapa kita melakukan ini? Maksud saya, kapan kita bisa mengatakan [kalau] kalian harus bekerja untuk diri sendiri. Kita akhirnya mengutamakan Amerika. Itu adalah deklarasi kemerdekaan kita," kata Presiden Amerika Serikat ke-47 itu dalam pidatonya saat mengumumkan kebijakan tersebut di Rose Garden, Gedung Putih, pada Rabu, 2 April 2025.

Amerika Serikat merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Berdasarkan laporan Kementerian Perdagangan RI, AS merupakan penyumbang surplus perdagangan nonmigas nasional tahun 2024. Angka surplus perdagangan Indonesia-AS sebesar 16,08 miliar dollar AS dari total surplus perdagangan nonmigas 2024 yang sebesar 31,04 miliar dollar AS.

Dampak kebijakan tarif ini terhadap daya saing ekspor Indonesia pun di akui Pemerintah. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, melalui sekretaris Kementerian, Susiwijono Moegiarso, mengatakan bahwa pengenaan tarif ini akan berdampak signifikan terhadap daya saing produk-produk nasional, khususnya pada komoditas ekspor unggulan RI di pasar AS.

Komoditas tersebut diantaranya adalah elektronik, tekstil dan produk tekstil, alas kaki, minyak sawit, karet, furnitur, udang dan produk-produk perikanan laut. Pemerintah, lanjutnya, akan segera menghitung dampak kebijakan ini terhadap sektor-sektor tersebut dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

"Pemerintah Indonesia juga akan mengambil langkah-langkah strategis untuk memitigasi dampak negatif terhadap perekonomian nasional Indonesia,” ujar Susiwijono dalam siaran pers yang diterbitkan pada Kamis malam, 3 April 2025, di Jakarta.

Selain mengantisipasi dampak terhadap sektor perdagangan, pemerintah juga berupaya menjaga stabilitas ekonomi domestik di tengah gejolak pasa keuangan akibat kebijakan ini. Salah satu prioritas utamanya adalah memastikan stabilitas yield Surat Berharga Negara (SBN) serta menjaga nilai tukar Rupiah agar tetap kondusif bagi dunia usaha.

“Bersama Bank Indonesia, Pemerintah Indonesia juga terus menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan memastikan likuiditas valas tetap terjaga agar tetap mendukung kebutuhan pelaku dunia usaha serta memelihara stabilitas ekonomi secara keseluruhan,” kata Susiwijono.

Sejak awal tahun, jelasnya, pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah strategis guna menghadapi kebijakan tarif AS ini. Tim lintas kementerian dan lembaga, kata dia, pun sudah melakukan koordinasi intensif dengan para pelaku usaha nasional serta perwakilan Indonesia di AS.

Komunikasi dengan pemerintah AS, lanjut Susiwijono, juga terus dilakukan di berbagai tingkatan. Termasuk dengan mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk melakukan negosiasi langsung.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Susiwijono Moegiarso. (Foto: HO-Kemenko Perekonomian RI).
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Susiwijono Moegiarso. (Foto: HO-Kemenko Perekonomian RI).

Sebagai bagian dari upaya diplomasi serta negosiasi, Indonesia juga telah menyiapkan berbagai langkah guna merespons berbagai isu yang disampaikan AS dalam laporan National Trade Estimate (NTE) 2025 yang diterbitkan oleh US Trade Representative (USTR).

Presiden Prabowo Subianto, ia menambahkan, juga sudah menginstruksikan Kabinet Merah Putih untuk melakukan reformasi struktural dan deregulasi yang mencakup penyederhanaan regulasi serta menghapus aturan-aturan yang dinilai menghambat, terutama yang berkaitan dengan Non-Tariff Measures (NTMs) atau kebijakan nontarif yang dipersoalkan AS.

Langkah tersebut, tutur Susiwijono, sejalan dengan upaya meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia, menjaga kepercayaan pelaku pasar, serta menarik investasi guna mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Selain bernegosiasi dengan AS, Indonesia juga berkoordinasi dengan Malaysia selaku pemegang keketuaan ASEAN. “Untuk merumuskan langkah bersama, mengingat kebijakan tarif ini berdampak pada seluruh negara anggota ASEAN,” sambungnya.

Efek Domino Tarif AS: PHK Mengintai, Ekspor Terpukul, Investasi Terancam

Shinta W. Kamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dalam keterangannya kepada media CNBC Indonesia, pada Kamis, 3 April 2025, mengatakan bahwa kebijakan ini tentu menimbulkan kekhawatiran. Kekhawatiran itu, imbuhnya, tak hanya dirasakan di kalangan dunia usaha, tapi juga masyarakat luas. "Karena membawa dampak signifikan terhadap arus perdagangan global," ujarnya.

Untuk menghadapi tantangan ini, menurutnya, langkah antisipasi diperlukan supaya dampaknya, terutama bagi dunia usaha, dapat diminimalisir. Oleh sebab itu, respon yang terkoordinasi antara pemerintah dan pelaku usaha menjadi penting.

Ia mengusulkan agar Indonesia membangun kesepakatan bilateral dengan AS untuk memastikan akses pasar yang kompetitif. Upaya diplomasi itu, harapnya, bisa menghasilkan respons positif dari pemerintah AS.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani. (Foto: apindo.or.id).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani. (Foto: apindo.or.id).

“Kami berharap upaya diplomasi ini bisa disambut baik oleh pemerintah AS. Dengan menciptakan supply chain yang menguntungkan bagi industri di AS, ekspor Indonesia bisa dilihat sebagai faktor yang memperkuat daya saing AS dan bukan ancaman bagi industrinya,” jelas Shinta.

Selain itu, ia juga mendorong pemerintah agar lebih agresif melakukan diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara ASEAN, Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika. Indonesia, lanjut Shinta, perlu memanfaatkan perjanjian dagang yang sudah ada seperti Free Trade Agreement (FTA) dan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).

"Serta menyelesaikan negosiasi yang masih berlangsung seperti Indonesia- European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA),” sambungnya.

Ia yang juga Chief Executive Officer (CEO) Sintesa Group ini pun menyoroti pentingnya revitalisasi industri padat karya dan deregulasi supaya produk Indonesia jadi makin kompetitif di pasar global. Dengan regulasi yang lebih fleksibel, kata dia, produk Indonesia bakal memiliki daya saing yang lebih tinggi di pasar ekspor.

Sementara itu, melansir Antara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai bahwa kebijakan tarif resiprokal AS ini bakal berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia dan berpotensi memicu resesi ekonomi Indonesia di kuartal IV 2025.

“Dampak dari tarif resiprokal pada Indonesia sebesar 32 persen ini kepada barang-barang seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, besi baja, otomotif, elektronik—ini adalah produk-produk yang paling terkena dampak,” ujar Bhima.

Pasalnya, ia menjelaskan, ekonomi Indonesia dan AS itu saling berkorelasi atau berhubungan. Kalau pertumbuhan ekonomi AS turun 1 persen, ekonomi Indonesia pun bisa ikut turun sekitar 0,08 persen. Menurutnya, kebijakan tersebut tak hanya memengaruhi kuantitas ekspor Indonesia ke AS saja, kebijakan itu juga dapat memberikan dampak negatif beruntun pada volume ekspor nasional ke negara-negara lain.

Salah satu sektor yang paling terdampak adalah industri otomotif dan elektronik. Kenaikan tarif ini, tutur Bhima, bakal menyebabkan harga kendaraan dan produk elektronik Indonesia di AS menjadi lebih mahal sehingga daya saingnya pun lantas turun.

Ia melanjutkan, dengan berlakunya tarif resiprokal 32 persen itu membuat konsumen di AS harus membayar lebih mahal untuk membeli kendaraan yang di impor dari Indonesia. Alhasil, konsumen akan menurunkan minat belinya dan berimbas pada menurunnya volume penjualan kendaraan asal Indonesia disana.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, saat menjadi pembicara dalam acara diskusi bertajuk ‘Omon-Omon Kesejahteraan: Rapor Bayangan 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran’ di Jakarta, Kamis (23/1/2025). (Foto: Antara/Uyu Septiyati Liman).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, saat menjadi pembicara dalam acara diskusi bertajuk ‘Omon-Omon Kesejahteraan: Rapor Bayangan 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran’ di Jakarta, Kamis (23/1/2025). (Foto: Antara/Uyu Septiyati Liman).

Menurutnya, pabrik di Indonesia yang biasanya membuat kendaraan untuk diekspor ke AS tidak bisa begitu saja langsung dapat menjualnya di dalam negeri. Karena spesifikasi kendaraan yang diproduksi untuk pasar ekspor dan pasar lokal itu berbeda.

Kalau ini terjadi, terang Bhima, dampaknya bisa sangat buruk. Ada kemungkinan perusahaan-perusahaan otomotif di Indonesia terpaksa memberhentikan karyawannya (layoff) dan mengurangi jumlah produksi kendaraan mereka.

"Produsen otomotif Indonesia tidak semudah itu shifting ke pasar domestik, karena spesifikasi kendaraan dengan yang diekspor berbeda. Imbasnya layoff dan penurunan kapasitas produksi semua industri otomotif di dalam negeri," ujar Bhima.

Ia juga menggarisbawahi kerentanan industri otomotif nasional mengingat sektor ini terhubung dalam rantai pasok global. Dimana sebelumnya, industri otomotif global telah dikenai tarif sebesar 25 persen oleh AS, terutama pada produk suku cadang dan kendaraan rakitan luar negeri.

"Jika Vietnam dan Thailand dikenakan tarif tinggi, efeknya juga akan terasa pada permintaan suku cadang dari Indonesia. Elektronik juga sama, ini saling terkait antara otomotif dengan elektronik,” lanjutnya.

Dalam keterangannya yang disiarkan saluran YouTube Kompas TV, Bhima menjelaskan kebijakan tarif resiprokal 32 persen itu juga dapat berdampak luas terhadap sektor padat karya. Sejumlah sektor seperti tekstil, pakaian jadi, hingga alas kaki bukan hanya menopang ekspor, tetapi juga memiliki kontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja.

Industri pakaian jadi dan alas kaki, kata dia, juga menjadi sektor yang cukup rentan karena ketergantungannya pada pesanan dari jenama-jenama internasional yang berbasis di AS. Bila tarif tinggi menyebabkan harga jual naik, maka pesanan dari perusahaan-perusahaan itu bisa menurun drastis.

“Kalau terjadi kenaikan tarif yang mengakibatkan permintaan bisa turun untuk pasar Amerika, maka imbasnya adalah penurunan order atau efisiensi terhadap tenaga kerja di Indonesia. Yang ini harus dimitigasi segera karena bisa menyebabkan efek dari PHK di sektor padat karya berlanjut,” tegasnya.

Efek lanjutan yang perlu diwaspadai, sambungnya, adalah potensi pelemahan nilai tukar rupiah yang terus berlanjut seiring ketidakpastian global. Untuk itu, ia menyarankan Bank Indonesia segera melakukan intervensi pasar.

“Butuh segera intervensi dari Bank Indonesia untuk melakukan operasi moneter dan juga melindungi sektor-sektor usaha yang terdampak itu dengan melakukan penyesuaian suku bunga sebesar 50 basis poin, sehingga suku bunga kredit untuk usaha yang terdampak itu bisa direlaksasi,” ucap Bhima.

Aktivitas karyawan dan karyawati di pabrik baju miliki PT Sri Rezeki Isman (Sritex), Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (3/3/2025). (Foto: Bisnis/Yayus Yuswoprihanto).
Aktivitas karyawan dan karyawati di pabrik baju miliki PT Sri Rezeki Isman (Sritex), Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (3/3/2025). (Foto: Bisnis/Yayus Yuswoprihanto).

Ia menilai situasi ini membuka peluang untuk menarik relokasi industri dari negara-negara yang terdampak lebih parah oleh tarif AS. Namun hal itu bakal terwujud bila pemerintah mampu menyediakan infrastruktur pendukung dan regulasi yang jelas.

“Pemerintah juga harus mulai mencari cara agar Indonesia bisa mendapatkan segera manfaat dari relokasi industri, karena relatif dengan tarif Vietnam, kemudian Kamboja. Indonesia memang dikenakan 32 persen tarif resiprokal, tapi dibanding negara-negara lain, ada selisih tarif yang membuat Indonesia masih menarik,” terangnya.

Bhima juga menekankan perlunya infrastruktur industri yang lengkap, termasuk suplai energi terbarukan guna memenuhi standar perusahaan multinasional yang mulai berpindah ke energi bersih dalam proses produksinya.

“Yang paling penting adalah disiapkan infrastruktur pendukung di kawasan industri, termasuk penyediaan energi terbarukan, karena banyak perusahaan multinasional memiliki komitmen terhadap suplai dari energi terbarukan dalam melakukan proses produksinya,” jelas Bhima.

Tak lupa, ia turut menyinggung perihal pentingnya reformasi birokrasi dalam urusan perizinan agar proses investasi bisa berjalan lebih efisien. Menurutnya, percepatan izin sangat penting agar efisiensi belanja pemerintah juga berdampak nyata terhadap dunia usaha.

“Yang lebih penting lagi adalah regulasi birokrasi ini harus dilakukan percepatan, sehingga perizinan-perizinan bisa semakin efisien, semakin efektif. Sehingga efisiensi belanja pemerintah sebenarnya harus berkorelasi dengan efisiensi dari sisi perizinan,” kata Bhima.

Selain itu, ia pun menyerukan perlindungan terhadap pasar domestik dengan cara meninjau ulang kebijakan impor. Salah satunya dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 agar ada penguatan terhadap syarat izin impor yang lebih ketat.

“Penekanan pada proteksi impor. Banyak negara yang kesulitan mengakses pasar ke Amerika akibat adanya kenaikan tarif. Mereka mencari negara-negara lain yang tentu prospek pasarnya besar, adalah Indonesia. Jadi Indonesia harus mulai melakukan revisi terhadap Permendag No.8/2024, sehingga ada proteksi syarat izin impor yang lebih ketat untuk melindungi pasar domestik dari serbuan barang-barang impor lainnya,” tukasnya.

Ia menilai bahwa kombinasi dari perlindungan pasar, pembenahan regulasi, hingga strategi menarik relokasi industri akan menjadi kunci bagi Indonesia dalam menghadapi tekanan dari kebijakan tarif AS. [*]



Sumber:
The White House, Harian Kompas, Antara, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, CNBC Indonesia.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.