MK Batasi Makna “Kerusuhan” dalam UU ITE: Hanya Berlaku di Dunia Fisik, Bukan Siber
Daftar Isi
![]() |
Hakim Konstitusi, Arsul Sani, saat membacakan pertimbangan hukum dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024, Selasa (29/4/2025). (Foto: Humas MKRI/Bay). |
MK tegaskan “kerusuhan” dalam UU ITE hanya berlaku di dunia fisik, bukan digital. Penyebar hoaks tak bisa diproses hukum jika hanya timbul keonaran online.
koranaceh.net | Jakarta ‒ Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memperjelas batasan makna “kerusuhan”
dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam putusan perkara Nomor 115/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa
ketentuan mengenai penyebaran berita bohong yang menimbulkan kerusuhan
dalam Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2024 hanya berlaku untuk kondisi
kerusuhan yang terjadi di ruang fisik, bukan di ruang digital atau
siber.
Putusan ini dibacakan pada sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang dipimpin
oleh Ketua MK Suhartoyo, pada Selasa, 29 April 2025, di. Permohonan uji
materi tersebut diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar yang menilai bahwa pasal
tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengancam kebebasan
berekspresi.
Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa
Penjelasan Pasal 28 ayat (3) telah memberikan batasan bahwa kerusuhan
dimaksud adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang
fisik.
"Artinya, Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 telah memberikan
pembatasan yang jelas bahwa penyebaran pemberitahuan bohong yang menimbulkan
kerusuhan yang secara fisik terjadi di masyarakat, tidak termasuk
keributan/kerusuhan yang terjadi di ruang digital/siber," ucap Arsul dalam
persidangan, dikutip dari laman resmi MK, pada Rabu (30/4/2025).
MK juga menegaskan pembatasan tersebut sejalan dengan Putusan MK Nomor
78/PUU-XXI/2023. Oleh karena itu, aparat penegak hukum hanya dapat memproses
kasus penyebaran berita bohong yang berujung pada kerusuhan fisik, bukan
konflik atau keonaran di media sosial.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah juga menilai bahwa penerapan Pasal 28 ayat
(3) UU ITE sebagai delik materiil harus berpegang pada prinsip lex scripta (tertulis), lex certa (jelas), dan lex stricta
(ketat). Dengan demikian, unsur "kerusuhan" harus diartikan secara terbatas
agar tidak menjadi pasal karet yang rentan disalahgunakan.
Meski demikian, MK menolak dalil Pemohon terkait penghapusan keseluruhan
pasal tersebut. "Berdasarkan uraian tersebut, norma Pasal 28 ayat (3) UU
1/2024 dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE telah ternyata tidak memberikan
kepastian hukum, jaminan kebebasan berekspresi atau berpendapat, serta
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya, yang
diatur dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD NRI
Tahun 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon," ujar Arsul.
"Namun, oleh karena pemaknaan Mahkamah tidak sebagaimana yang dimohonkan
oleh Pemohon, dalil Pemohon sepanjang norma Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 dan
Pasal 45A ayat (3) UU 1/2024 beralasan menurut hukum untuk sebagian," ujar
sambungnya.
Mahkamah kemudian menyatakan bahwa Pasal 45A ayat (3) UU ITE, yang
merupakan pasal sanksi atas pelanggaran Pasal 28 ayat (3), juga harus
mengikuti penafsiran yang sama. Dengan kata lain, proses hukum hanya bisa
dilakukan jika penyebaran hoaks benar-benar menyebabkan kerusuhan secara
fisik.
Baca Juga :
Sementara itu, terkait dalil uji konstitusionalitas terhadap Pasal 310 ayat
(3) KUHP dan pasal-pasal lainnya, MK menyatakan bahwa permohonan tersebut
tidak beralasan menurut hukum.
Dalam amar putusannya, Ketua MK Suhartoyo menyatakan, "Mengabulkan
permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan kata 'kerusuhan'
dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik,
bukan kondisi di ruang digital/siber'."
Putusan ini menjadi penanda penting dalam penegakan hukum siber di
Indonesia, sekaligus sebagai langkah korektif atas penerapan pasal-pasal
dalam UU ITE yang selama ini menuai kritik karena dinilai multitafsir dan
berpotensi mengekang kebebasan sipil.
❖