UU TNI Baru dan Kekhawatiran Dwifungsi, Pengamat dan Pemerintah Tegaskan Militer Tetap Profesional

Ilustrasi prajurit TNI. (Foto: Ist).
Ilustrasi prajurit TNI. (Foto: Ist).
Pemerintah dan pengamat menegaskan UU TNI baru tidak menghidupkan kembali dwifungsi militer. Panglima TNI memastikan prajurit yang menduduki jabatan sipil harus mundur atau pensiun dini.

koranaceh.net Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru disahkan oleh DPR RI pada Kamis, 20 Maret 2025 lalu, menimbulkan kekhawatiran di kalangan publik mengenai kemungkinan kembalinya dwifungsi TNI.

Namun, pemerintah, pengamat militer, serta TNI sendiri menegaskan bahwa aturan ini tetap berada dalam koridor profesionalisme, tanpa membuka celah bagi prajurit aktif untuk terlibat dalam politik dan bisnis.

Baca Juga :
DPR Sahkan Revisi UU TNI

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES), Khairul Fahmi, menilai revisi UU TNI ini tetap melarang prajurit untuk berpolitik dan berbisnis.

"Jika ditelaah secara cermat, revisi ini tidak mencabut larangan bagi prajurit TNI untuk berpolitik dan berbisnis. Artinya, militer tetap diposisikan dalam koridor profesionalisme, dan tidak diperbolehkan memasuki arena politik praktis maupun ekonomi," kata Fahmi, Sabtu, 22 Maret 2025, seperti dikutip dari Antara.

Larangan ini sebelumnya juga telah ditegaskan dalam UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Dengan revisi yang baru, publik diimbau untuk terus mengawal implementasi aturan ini agar tetap sejalan dengan semangat reformasi.

Keterlibatan TNI dalam ranah sipil, lanjutnya, tetap harus diawasi dan diatur dengan ketat untuk menghindari potensi melebarnya pengaruh militer dalam birokrasi negara. 

"Kontrol terhadap penerapannya tetap harus diperkuat agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat mengarah pada kembalinya pola lama," ucap Fahmi.

Kekhawatiran tentang dwifungsi TNI juga mencuat seiring dengan adanya perubahan dalam daftar kementerian dan lembaga yang boleh ditempati oleh prajurit aktif.

Baca Juga :
Revisi UU TNI, DDRN Sorot Potensi Militerisasi Ruang Siber dan Ancaman Demokrasi Digital

Sebelumnya, UU TNI hanya mengizinkan 10 kementerian dan lembaga (K/L) untuk menampung perwira aktif, namun dalam revisi terbaru, jumlahnya bertambah menjadi 14 K/L.

Kementerian dan lembaga tambahan tersebut meliputi Pengelola Perbatasan, Penanggulangan Bencana, Penanggulangan Terorisme, Keamanan Laut, dan Kejaksaan Republik Indonesia.

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menegaskan bahwa setiap prajurit yang menduduki jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI harus mundur atau mengajukan pensiun dini.

“TNI aktif yang berdinas di Kementerian/Lembaga lain, harus mengundurkan diri/pensiun dini dari dinas aktif,” ujar Panglima dalam keterangan resminya di STIK-PTIK Lemdiklat Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin, 10 Maret 2025.

Sementara itu, ihwal derasnya penolakan dan kritik publik terhadap UU TNI yang baru ini disarankan tersebut, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyarankan pihak-pihak yang merasa tidak puas untuk menempuh jalur judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Biarkan dia akan diuji, apakah benar bahwa kekhawatiran itu memang sesuatu yang mendasar untuk dilakukan atau tidak," kata Supratman kepada para juru warta di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 21 Maret 2025.

Baca Juga :
Pembahasan RUU TNI di Hotel Mewah: Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Minimnya Transparansi dan Pemborosan Anggaran

Supratman juga membantah anggapan bahwa revisi ini dilakukan secara tertutup tanpa transparansi. Menurutnya, pembahasan RUU TNI telah berlangsung sejak periode sebelumnya dan menjadi carry over ke periode sekarang.

"Undang-undang ini dulu saya yang menginisiasi waktu di badan legislasi, itu tahun 2024, tapi tidak jadi waktu itu, karena memang pemerintah belum menyelesaikan DIM-nya," ujarnya. []

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.