Dewan Pers Kutuk Keras Teror terhadap Jurnalis Tempo, Desak Penegakan Hukum

tua Dewan Pers, Ninik Rahayu, saat diwawancarai awak media terkait aksi teror terhadap jurnalis Tempo, Jum'at (21/3/2025), di Kantor Dewan Pers, Jakarta. (Foto: Ist).
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, saat diwawancarai awak media terkait aksi teror terhadap jurnalis Tempo, Jum'at (21/3/2025), di Kantor Dewan Pers, Jakarta. (Foto: Ist).
Tindakan ini dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan pers dan kemerdekaan jurnalistik.

koranaceh.net Dewan Pers mengutuk keras aksi teror terhadap jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana, yang menerima paket berisi kepala babi di kantor Tempo pada Kamis, 20 Maret 2025. Insiden ini dianggap sebagai ancaman serius terhadap independensi pers dan kemerdekaan jurnalistik di Indonesia.

Dalam jumpa pers yang berlangsung di Kantor Dewan Pers, pada Jum'at, 21 Maret 2025, Dewan Pers menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk nyata intimidasi terhadap kebebasan pers yang telah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Baca Juga :
Dewan Pers Luncurkan Pedoman Penggunaan AI untuk Jurnalistik, Mitigasi Pelanggaran Etik Jadi Fokus

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyatakan bahwa segala bentuk ancaman terhadap jurnalis harus dilawan karena bertentangan dengan prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi.

"Dewan Pers dan komunitas pers mengutuk keras setiap teror, apa pun bentuknya, terhadap jurnalis dan perusahaan pers. Tindakan teror terhadap pers merupakan bentuk kekerasan dan premanisme," ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa meskipun media atau jurnalis bisa saja membuat kesalahan dalam pemberitaan, cara menyelesaikannya harus sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.

"Jurnalis dan media massa bisa saja salah, namun melakukan teror terhadap jurnalis merupakan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Tindakan itu sekaligus melanggar hak asasi manusia. Hal ini karena hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia paling hakiki," tambahnya.

Dewan Pers menekankan bahwa pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan seharusnya menempuh jalur hukum yang sesuai, bukan dengan aksi kekerasan atau teror.

"Jika ada pihak yang keberatan atau merasa dirugikan oleh sebuah pemberitaan atau produk jurnalistik, maka harus ditempuh dengan menggunakan mekanisme UU Pers No. 40/1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pihak yang dirugikan bisa mengajukan hak jawab atau hak koreksi," jelas Ketua Dewan Pers tersebut.

Baca Juga :
Diskusi HPN 2025 di Pekanbaru Soroti Integritas Pers dan Kekerasan terhadap Wartawan

Dewan Pers juga mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas pelaku teror ini agar tidak menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di masa depan.

"Dewan Pers meminta agar aparat penegak hukum mengusut tuntas pelaku teror tersebut. Jika dibiarkan, ancaman atau teror seperti ini akan terus berulang di kemudian hari," kata Ninik.

Selain itu, Dewan Pers mengimbau semua pihak agar tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyampaikan keberatan terhadap pemberitaan pers.

"Dewan Pers juga mengimbau semua pihak agar tidak lagi menggunakan cara-cara yang tidak beradab dalam mengajukan keberatan atas pemberitaan atau karya jurnalistik yang dihasilkan oleh pers," lanjutnya.

Dalam pernyataannya, Dewan Pers juga menganjurkan agar Tempo segera melaporkan kasus ini kepada aparat keamanan dan penegak hukum karena tindakan teror dan intimidasi merupakan tindak pidana yang harus ditindaklanjuti.

Terakhir, Dewan Pers meminta agar pers nasional tetap berani dalam menjalankan tugas jurnalistiknya tanpa takut terhadap ancaman atau tekanan dari pihak mana pun.

"Terhadap pers nasional, Dewan Pers meminta agar pers tidak takut terhadap berbagai model ancaman dan tetap bekerja secara profesional. Pers juga tetap kritis dalam menyampaikan pesan kebenaran serta masukan terhadap pembuat kebijakan sehingga masyarakat bisa mendapat informasi secara utuh dari berbagai pihak," tegas Ninik Rahayu.

Kasus ini menambah daftar panjang intimidasi terhadap jurnalis di Indonesia. Insiden serupa pernah terjadi sebelumnya, di mana jurnalis yang mengungkap kasus-kasus sensitif kerap menjadi sasaran ancaman, baik secara fisik maupun psikis. []

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.