Revisi UU TNI, DDRN Sorot Potensi Militerisasi Ruang Siber dan Ancaman Demokrasi Digital

Ilustrasi. (Foto: bandungbergerak.id/Bawana Helga Firmansyah).
Ilustrasi. (Foto: bandungbergerak.id/Bawana Helga Firmansyah).

Revisi UU TNI menuai beragam kritik. DDRN menilai revisi ini membuka peluang militerisasi digital dan mengancam kebebasan berekspresi.

koranaceh.net Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) berjalan mulus. Seluruh fraksi di DPR RI sepakat RUU ini di bawa ke sidang Paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada Kamis, 20 Maret 2025.

Sejak muncul ke permukaan, revisi UU TNI menuai banyak kritik dan penolakan. Salah satunya Digital Democracy Resilience Network (DDRN). DDRN menilai bahwa aturan baru tersebut membuka peluang militerisasi ruang siber dan mengancam hak-hak digital masyarakat.

Baca Juga :
DPR RI Setujui Revisi UU TNI, Ini Perubahan Penting yang Akan Diberlakukan

Digital Democracy Resilience Network (DDRN) merupakan jejaring masyarakat sipil yang berfokus pada isu demokrasi digital di Indonesia. Dibentuk pada 2021, DDRN kini beranggotakan 29 organisasi lintas daerah dan lintas isu, termasuk SAFEnet, AJI, YLBHI, KontraS, Perludem, ICJR, dan ELSAM.

Mengutip rilis DDRN, Rabu, 19 Maret 2025, salah satu poin utama yang disorot mereka dalam revisi ini adalah perluasan fungsi TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 2b.

Dalam draf final yang disetujui semua fraksi DPR RI pada Rabu, 19 Maret 2025 lalu, DDRN menjelaskan, TNI diberikan wewenang untuk 'membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber' dengan penjelasan bahwa tugasnya mencakup "peran serta dalam upaya menanggulangi ancaman siber pada sektor pertahanan (cyber defense)".

DDRN mengkritik rumusan ini sebagai pasal karet yang berpotensi disalahgunakan untuk justifikasi kebijakan represif, seperti penyensoran, pemblokiran konten, dan operasi informasi yang menekan kebebasan berekspresi.

Ketidakjelasan definisi dalam UU ini juga menjadi perhatian DDRN. Hingga saat ini, tulis DDRN, belum ada definisi hukum yang jelas tentang “ancaman siber” dan “pertahanan siber” dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Mengacu pada Pedoman Pertahanan Siber Nasional tahun 2014, pemerintah memasukkan perang informasi, propaganda, dan manipulasi informasi dalam kategori ancaman siber.

Hal ini, lanjut DDRN, semakin diperparah dengan dokumen Satuan Siber (Satsiber) TNI menunjukkan ambisi militer untuk menguasai kemampuan takedown konten dan operasi kontra opini publik.

"Perluasan OMSP ke ruang siber berpotensi menjadi alat justifikasi bagi negara untuk mengambil kebijakan koersif-militeristik yang membatasi ruang sipil," tegas DDRN dalam pernyataannya.

Baca Juga :
Pembahasan RUU TNI di Hotel Mewah: Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Minimnya Transparansi dan Pemborosan Anggaran

Selain perluasan OMSP, sambung DDRN, revisi UU ini juga mengatur peluang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki posisi sipil dalam lembaga yang menangani siber.

Pasal 47 ayat 1 menyatakan, “Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi siber dan/atau sandi negara.” Dengan ketentuan ini, jelas DDRN, TNI dapat menempati posisi strategis di Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), yang selama ini seharusnya berada di bawah otoritas sipil.

Menurut mereka, langkah ini bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam tata kelola digital. Dominasi militer dalam kebijakan siber dapat mengarah pada kebijakan bersifat militeristik dan berpotensi membatasi hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat di ruang digital.

"Jika prajurit TNI aktif dapat menduduki posisi strategis di BSSN, maka independensi badan tersebut dalam merumuskan kebijakan dapat terdistorsi oleh kepentingan militer," kata DDRN.

Selain itu, DDRN juga menyoroti potensi tumpang tindih kewenangan antara TNI, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Saat ini, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah menetapkan Komdigi sebagai penanggung jawab utama dalam menangani konten ilegal dan berbahaya.

DDRN menjelaskan, jika TNI diberikan kewenangan luas dalam menangani operasi informasi yang bersifat non-teknis, hal ini dapat memicu konflik kewenangan dan berujung pada peningkatan penyensoran di ruang digital.

Selain itu, DDRN juga menilai bahwa RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) yang tengah dalam pembahasan memiliki substansi serupa. Ini semakin menambah tumpang tindih kewenangan dalam tata kelola siber nasional.

Baca Juga :
YLBHI Tolak Revisi UU TNI: Ancaman Kembalinya Dwifungsi ABRI dan Bahaya bagi Demokrasi

Akibatnya, masyarakat sipil bakal semakin rentan menghadapi regulasi digital yang dikendalikan oleh berbagai lembaga negara dengan pendekatan yang tidak transparan.

DDRN juga menyoroti bahwa pemerintah gagal melihat persoalan ancaman siber secara holistik. Alih-alih memperluas peran TNI dalam urusan siber, ada banyak regulasi lain yang lebih mendesak untuk dibahas, seperti aturan terkait akuntabilitas korporasi digital dalam menangani operasi informasi di platform mereka dan implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

"Bukannya memperluas peran militer di ruang siber, lebih baik pemerintah fokus pada regulasi yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, seperti perlindungan data pribadi dan aturan ketat terhadap korporasi teknologi," ujar DDRN.

Atas dasar itu, DDRN menuntut pemerintah dan DPR RI untuk:

    1. Menghentikan proses pengesahan RUU TNI yang dianggap tidak transparan dan minim partisipasi publik.
    2. Menolak perluasan fungsi TNI dalam ranah sipil, termasuk ruang digital, karena berpotensi menghidupkan kembali supremasi militerisme.
    3. Menghapus pasal-pasal yang memungkinkan militerisasi ruang siber, baik dalam bentuk perluasan OMSP maupun peluang prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil yang mengatur siber dan sandi negara.

Sebelumnya gelombang penolakan terhadap RUU ini terus digemakan oleh beragam kalangan. Sejumlah pasal dalam RUU yang dianggap mengancam supremasi sipil dan demokrasi menjadi sebab utamanya.

Koalisi Masyarakat Sipil juga menuding pembahasan RUU TNI tidak transparan dan terkesan kejar setoran. Rapat pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), misalnya, seolah-olah dilakukan diam-diam dan tertutup di sebuah hotel mewah.

Pembahasan RUU ini juga dianggap mengabaikan partisipasi publik yang menjadi salah satu prasyarat pembentukan UU.

"Dari awal gitu ya, tidak pernah ada ruang perlibatan partisipasi masyarakat secara bermakna untuk proses pembahasan RUU TNI. Yang kedua kami juga menyoroti proses yang sangat cepat gitu ya," ujar Dimas Bagus Arya, Koordinator Kontras dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Senin, 17 Maret 2025.

Baca Juga :
Menhan Usulkan Penambahan 5 Jabatan Sipil untuk Prajurit TNI Aktif dalam Revisi UU TNI

Salah satu yang paling dikritik adalah pasal 47 yang mengatur jabatan sipil yang diduduki oleh prajurit TNI aktif. Adapun, terdapat 14 jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit TNI. Koalisi Masyarakat Sipil khawatir RUU TNI bakal membuat dwifungsi TNI kembali di negeri ini.

Di tempat yang sama, Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia menyatakan, "DIM itu bermasalah, terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan militerisme atau dwifungsi TNI di Indonesia," ujarnya.

"TNI, dilatih, di didik dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan seperti duduk di jabatan sipil," sambung Sulistyowati. []

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.