Mengapa Minat Baca di Indonesia Rendah?
Ilustrasi. (Foto: artcallsindonesia.com).
Ahmad Fadlan Farsi Lubis
*Karyawan PT Telekomunikasi Selular (PT TELKOMSEL)
Budaya baca di Indonesia masih rendah. Berbanding terbalik dengan tradisi literasi di negara maju.
koranaceh.net ‒ Indonesia, negara dengan jumlah penduduk lebih dari 281 juta jiwa memiliki karakter yang berbeda dalam hal membaca. Membaca adalah aktivitas yang paling sedikit kita temui di tengah-tengah masyarakat kita, baik bagi mereka yang hidup di perkotaan ataupun di pedesaan.
Berdasarkan data UNESCO seperti yang dikutip dari gnindonesia.org (14/1/2025), angka minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, yaitu 0.001 persen. Ini artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya satu yang rajin membaca.
Selain itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga membeberkan bahwa penduduk Indonesia yang rajin membaca buku hanya 10 persen saja. Angka ini jauh di bawah rata-rata negara-negara maju. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan pernah mengatakan untuk mengejar kemampuan baca saja, Indonesia butuh 45 tahun (tempo.co, 30/9/2020).
Masih ingat dibenak kita saat kita mulai duduk di bangku sekolah, guru-guru selalu berpesan ‘dengan banyak membaca, akan banyak yang kita ketahui' . Begitu pun sebaliknya, 'jika sedikit membaca, tentu sedikit yang kita ketahui’.
Baca Juga :
Budaya Membaca Lebih Penting daripada Sekolah
Bahkan pameo berikut tersebar secara luas di masyarakat kita; ‘buku adalah jendela dunia’. Termasuk perintah membaca juga terdapat dalam salah satu surah di dalam Al-Qur’an yakni surah Al-Alaq, dimana ayat pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW tersebut berbunyi ‘Iqra’ yang artinya bacalah.
Namun demikian, tetap saja wejangan tersebut tak cukup menarik minat masyarakat kita untuk membaca. Apa yang sebenarnya terjadi?
Jika kita bandingkan dengan negara-negara maju seperti Eropa, Amerika dan Jepang, membaca sudah menjadi budaya bagi masyarakatnya. Kebiasaan membaca biasa kita jumpai di kalangan pelajar hingga orang dewasa di sana. Di transportasi umum, ruang tunggu, café, hingga taman atau park, kebiasaan membaca tidak pernah lepas dari keseharian mereka.
Pernah saya berkunjung ke Jepang. Pada saat itu, saya menggunakan kereta cepat (shinkansen) dalam perjalanan dari Tokyo menuju Osaka. Pemandangan yang saya lihat sangat ironi dengan yang sering kita saksikan di dalam kereta di Indonesia. Suasana di dalam kereta begitu tenang dan tidak ada suara berisik orang-orang bercakap.
Masyarakat Jepang ternyata lebih memilih untuk membaca atau istirahat (tidur) sejenak ketika berada di dalam kereta. Bahkan jika ingin menerima atau melakukan panggilan telepon, ada satu gerbong yang disediakan untuk aktivitas itu sehingga penumpang lain tidak merasa terganggu dengan suara-suara obrolan.
Kebiasaan membaca buku juga bisa kita lihat tidak lepas dari para wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia. Acapkali kita jumpai mereka sibuk dengan kegiatan membaca buku.
Pernah suatu ketika saya sedang makan di sebuah restoran, ada seorang wisatawan asal Jerman yang juga makan disana. Sambil memesan makanan dan menuggu makanan datang, dia tidak lebih dari hanya sekadar membaca buku dibanding sibuk bermain hape seperti yang dilakukan kebanyakan masyarakat kita.
Faktor Penyebab Rendahnya Minat Baca
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Pertama, peran dan kemauan dari pemimpin di negeri ini untuk membudayakan suka membaca sangat minim sekali. Pemerintah kita lebih sibuk mementingkan pembangunan fisik dibandingkan dengan membangun manusia Indonesia itu sendiri.
Deretan mall, jembatan layang serta prasarana fisik lainnya lebih menarik untuk dikerjakan dibandingkan menyediakan perpustakaan umum, taman baca serta pengadaan buku bacaan gratis. Padahal untuk keberlangsungan periode kepemimpinan di negeri ini dibutuhkan masyarakat yang cakap serta cerdas yang bisa membawa negeri ini sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya.
Kedua, kurangnya akses terhadap buku di daerah terpencil. Walaupun orang-orang di kota memiliki akses ke perpustakaan dan buku-buku, hal ini mungkin tidak berlaku untuk kota-kota dan desa-desa yang lebih terpencil. Meski beberapa lokasi terpencil memiliki perpustakaan keliling, penawaran dan pilihan buku mereka sering kali perlu ditingkatkan.
Ketiga, harga buku yang tergolong mahal. Buku anak-anak apalagi buku bagus yang tergolong buku import harganya bisa ratusan ribu. Untuk membeli sebuah buku, seorang pekerja bergaji Upah Minimum Regional (UMR) harus menghabiskan 1/2 gaji bulanannya (dikutip dari kompasiana.com, 24/1/2019).
Oleh karena itu, penggunaan media sosial lewat kecanggihan internet yang lebih mudah diakses dan lebih interaktif seringkali mengalahkan peran buku secara konvensional.
Baca Juga :
Bangun Generasi Cerdas, Bunda Literasi Aceh Serukan Pentingnya Minat Baca Sejak Usia Dini
Keempat, sejak kecil atau selama di sekolah, anak-anak Indonesia tidak diwajibkan membaca buku. Jadi mereka rabun membaca dan enggan menulis. Jika kita bandingkan dengan negara Thailand saja, siswa disana wajib membaca 5 judul buku, dan di Amerika wajib membaca 32 judul buku (dikutip dari tempo.co, 30/9/2020).
Kelima, kebiasaan masyarakat Indonesia lebih pada kebiasaan mendengar dan bercakap-cakap. Konon, leluhur orang Indonesia lebih suka bertutur dibandingkan dengan menuliskannya. Sehingga, tradisi berbagi cerita panjang dan kebijaksanaan melalui kata-kata lisan lebih populer dibanding melalui teks tertulis.
Sudah sepatutnya pemerintah kita turut serta dan berkomitmen untuk menjadikan membaca menjadi kebiasaan yang membudaya di tengah-tengah masyarakat jika ingin melihat negara ini sejajar dengan negara-negara maju yang masyarakatnya suka membaca.
Perlu kebijakan-kebijakan yang bersifat regional dan nasional untuk membangun semangat membaca yang berdampak signifikan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sangatlah bertolak belakang jika kita tidak mau berkomitmen untuk menaruh minat baca, padahal sejatinya pendiri bangsa kita seperti Bung Hatta membawa 16 peti bukunya ke pengasingan di Boven Digul.
Bung Karno yang dikenal seorang polygot, menguasai sejumlah bahasa dan membaca buku dalam bahasa aslinya. KH Agus Salim dan Sutan Syahrir serta Tan Malaka juga adalah pembaca yang kuat. [*]
Tidak ada komentar