Polda Aceh Naikkan Status Dugaan Korupsi Proyek Jalan Simeulue ke Penyidikan
Direktur Reskrimsus Polda Aceh, Kombes Pol. Zulhir Destrian. (Foto: HO-Polda Aceh). |
Polda Aceh tingkatkan kasus proyek jalan Rp6,6 miliar di Simeulue ke penyidikan. Diduga sarat pinjam bendera dan pekerjaan tidak sesuai kontrak.
koranaceh.net – Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh resmi meningkatkan status penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek peningkatan Jalan Simpang Air Dingin–Labuhan Bajau, Kabupaten Simeulue, ke tahap penyidikan. Kepastian tersebut diambil melalui gelar perkara yang berlangsung di Aula Ditreskrimsus, Selasa, 15 Juli 2025.
Direktur Reskrimsus Polda Aceh, Kombes Pol. Zulhir Destrian, menyampaikan bahwa proyek yang bersumber dari DOKA APBK Simeulue 2023 dengan nilai kontrak Rp6,614 miliar itu diduga sarat penyimpangan sejak proses awal hingga pelaksanaannya.
Baca Juga :
Kapolda Aceh Pimpin Sertijab Pejabat Utama dan Kapolres Baru
“Pekerjaan itu seharusnya dilaksanakan oleh CV. RPJ, tetapi kenyataannya dikerjakan oleh pihak lain yang tidak tercantum dalam akta pendirian perusahaan. Bahkan tenaga manajerial yang digunakan tidak sesuai dengan yang tercantum dalam kontrak atau SPK,” kata Zulhir, Rabu, 16 Juli 2025.
Temuan tersebut, lanjutnya, diketahui oleh KPA/PPK, PPTK, hingga konsultan pengawas, namun tidak ada tindakan untuk memutus kontrak. Pemeriksaan juga menunjukkan ketidaksesuaian pekerjaan terhadap spesifikasi teknis dan terdapat kekurangan volume, berdasarkan analisis ahli dari Politeknik Negeri Lhokseumawe.
“Dalam kontrak dipersyaratkan adanya pekerjaan agregat kelas A, tapi faktanya tidak dipasang. Begitu juga terdapat kekurangan pada beton struktur F’c 20 MPa sebesar 7,97 m³ dan kekurangan volume batu sebesar 23,57 m³. Selain itu, uang muka juga dibagi kepada pihak-pihak yang tidak berhak,” jelasnya.
Polda Aceh juga menemukan bahwa serah terima pekerjaan dilakukan tanpa pemeriksaan fisik menyeluruh di lapangan. “Pengawasan konsultan tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga mutu pekerjaan tidak sesuai standar,” ujar Zulhir.
Dalam kasus ini, penyidik telah memeriksa 31 saksi dan akan menerapkan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Proyek tersebut dilelang pada Maret 2023, dengan CV. BM sebagai pemenang, dan CV. AJS serta CV. RPJ sebagai cadangan. Proses tender mendapat sanggahan karena alat utama dua peserta sedang bersengketa.
“Karena kendala legalitas alat utama, KPA tidak langsung menunjuk CV. BM, tetapi memberi waktu untuk melengkapi dukungan alat. Namun, CV. BM dan CV. AJS gagal memenuhi syarat tersebut. Kemudian, RH menghubungi Kadis PUPR Simeulue agar menunjuk CV. RPJ sebagai pemenang berkontrak,” ujar Zulhir.
Baca Juga :
Aceh dan Kemenkumham Teken Kesepakatan Penguatan Reintegrasi dan HAM
SPPBJ diterbitkan untuk CV. RPJ dengan nilai kontrak Rp6,614 miliar. Namun, RH yang bukan pemilik CV. RPJ diketahui hanya meminjam perusahaan untuk memenangkan tender dan menyerahkan pelaksanaan proyek kepada SA, pemilik AMP. CV. RPJ hanya menerima “fee pinjam bendera” sebesar 1% dari nilai kontrak atau Rp55 juta.
Pada Agustus 2023, pertemuan di Kantor Dinas PUPR Simeulue membahas mekanisme penarikan uang muka 30% (sekitar Rp1,9 miliar) dan pembagian fee. Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain RH, SS, SA, AM, IS, serta PA dan KPA.
Karena ketidaksepakatan, terjadi perubahan pembagian: SA mendapat Rp1 miliar, AM Rp268 juta, SS Rp235 juta, dan RH Rp268 juta. Uang muka dibagikan setelah pencairan sesuai arahan RH.
Serah terima pekerjaan dilakukan melalui PHO pada 26 Maret 2024 dan FHO pada 23 September 2024. Pembayaran 100% dilakukan kepada CV. RPJ melalui empat tahap pencairan di Bank Aceh Syariah. [*]
Tidak ada komentar