Zidan Al Hafidh Soroti Sejumlah Masalah dalam Raqan RPJM Kota Banda Aceh 2025–2029
Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Zidan Al Hafidh. (Foto: Dok. Ist). |
Zidan Al Hafidh kritisi RPJM Banda Aceh 2025–2029, soroti isu wisata, pendidikan inklusif, dayah, pangan, dan sistem layanan kesehatan yang belum optimal.
koranaceh.net – Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, Zidan Al Hafidh, mengemukakan sejumlah catatan penting terhadap Rancangan Qanun (Raqan) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Banda Aceh 2025–2029.
Hal ini ia sampaikan dalam rapat pembahasan RPJM yang berlangsung pada Jumat, 18 Juli 2025. Menurut Zidan, RPJM harus berisi prioritas pembangunan yang jelas dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, dengan mempertimbangkan keterbatasan sumber daya.
Baca Juga :
Gubernur Aceh Buka Musrenbang RPJM 2025–2029, Soroti Dana Otsus dan Infrastruktur Terpencil
“Strategi dan kebijakan pembangunan daerah harus jelas dan efektif. Strategi dan kebijakan ini harus mempertimbangkan keterbatasan sumber daya yang tersedia. Selain itu, strategi dan kebijakan juga harus dapat diimplementasikan dengan baik dan efektif,” ujarnya.
Ia juga menyoroti belum optimalnya promosi sektor pariwisata Banda Aceh akibat tidak adanya event tahunan berskala besar yang menjadi ciri khas kota.
“Pengelolaan dan perlindungan terhadap beberapa objek wisata potensial di Kota Banda Aceh masih kurang, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan pada objek wisata,” ungkapnya.
Zidan menilai perlu ada identitas atau keunikan kota yang mampu menarik wisatawan dan menggerakkan ekonomi lokal. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam menjaga objek wisata juga perlu diperkuat.
Dalam bidang pendidikan, Zidan menyoroti kesenjangan distribusi guru inklusi di sekolah-sekolah Kota Banda Aceh. Data 2023 menunjukkan dari 45 SD inklusi hanya terdapat satu guru inklusi, dan di 11 SMP inklusi hanya ada sembilan guru inklusi.
“Hal ini menunjukkan bahwa layanan pendidikan yang inklusif belum optimal,” katanya.
Masalah juga ditemukan pada sektor pendidikan dayah. Menurut Zidan, sebagian besar dayah masih bergantung pada bantuan pemerintah atau donatur sehingga belum mampu mandiri dalam pengembangan kurikulum dan peningkatan kualitas pengajar serta infrastruktur.
Isu ketahanan pangan juga mendapat sorotan. Zidan menyebut angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan (PoU) menunjukkan fluktuasi dari tahun ke tahun.
Tahun 2020 PoU sebesar 5,00 persen, turun menjadi 2,75 persen di 2021, lalu naik tajam menjadi 6,29 persen di 2022, sedikit turun ke 5,47 persen di 2023, dan kembali naik menjadi 6,69 persen di 2024.
“Fluktuasi ini menandakan perlunya upaya berkelanjutan untuk menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan masyarakat,” tegas Zidan.
Ia mempertanyakan langkah strategis Pemerintah Kota Banda Aceh dalam menyikapi isu ini, mengingat dukungan dari Pemerintah Pusat melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Zidan juga menyinggung belum optimalnya pelayanan kesehatan di Kota Banda Aceh. Permasalahan disebut masih muncul akibat belum terintegrasinya sistem informasi kesehatan, belum memadainya sarana dan prasarana, serta rendahnya pola hidup sehat masyarakat. [*]
Tidak ada komentar