Dari MoU Helsinki ke Kantong Parpol: Ke Mana Pergi Damai Aceh?

Hamdan Budiman
*Pemred Koran Aceh

Dua dekade pasca MoU Helsinki, dana publik Aceh justru jadi bancakan elite. Hibah parpol Rp29,3 miliar bukti rakyat kian ditinggalkan.

koranaceh.net MoU Helsinki lahir untuk menghentikan perang dan membuka jalan damai. Ia dimaksudkan sebagai pintu menuju kesejahteraan rakyat Aceh, bukan sekadar kompromi politik antara elite Jakarta dan Aceh. Namun dua puluh tahun setelah ditandatangani, kita melihat kenyataan yang pahit: dana rakyat yang seharusnya mengalir ke pembangunan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan justru masuk ke kantong partai politik.

Alokasi Rp29,3 miliar dana hibah untuk partai politik di Aceh tahun ini menjadi bukti nyata. Jumlah yang sangat besar itu kembali menyingkap betapa elit politik kehilangan sensitivitas terhadap kondisi rakyatnya. Saat Aceh masih memikul predikat provinsi termiskin di Sumatera, saat pengangguran menjerat generasi muda, para penguasa justru lebih sibuk mempertebal kantong organisasi politik mereka.

Bayangkan jika dana sebesar itu digunakan untuk membangun rumah dhu’afa: ratusan keluarga miskin bisa tersenyum di depan pintu rumah layak huni.

Revisi UUPA yang kini tengah digodok di Senayan justru membuka potensi lebih besar. Jika disahkan, bukan tidak mungkin bantuan dana ke partai politik naik berkali lipat dari sekarang. Namun pertanyaannya: apakah ini yang dimaksud dengan semangat MoU Helsinki? Apakah rakyat Aceh yang berkorban puluhan tahun lamanya dalam konflik ingin melihat hasil damai diwujudkan dalam subsidi mewah bagi partai politik?

Dana hibah untuk parpol hanyalah salah satu wajah dari apa yang disebut rakyat sebagai “bancakan” elite. Sebelumnya kita sudah menyaksikan dana beasiswa yang bermasalah, dana pokir anggota legislatif yang rawan penyalahgunaan, hingga dana bantuan tsunami dan dana otsus yang nilainya mencapai lebih dari 197 triliun rupiah dalam dua dekade terakhir.

Semua itu seolah hanya memperkaya segelintir orang, sementara rakyat yang lapar tetap dibiarkan menunggu janji kosong.

Seorang filsuf pernah mengingatkan: “Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.” Aceh pernah belajar dari pahitnya konflik karena ketidakadilan. Jika dana publik terus dipakai untuk menghidupi partai politik, bukan untuk rakyat, maka jalan yang kita tempuh hanyalah mengulang kesalahan lama dengan wajah baru.

Karena itu, sudah semestinya dana hibah untuk parpol dibatalkan, dan setiap rupiah yang berasal dari rakyat harus kembali kepada rakyat. Hanya dengan begitu MoU Helsinki menemukan kembali ruhnya: perdamaian yang adil, bukan perdamaian yang diperdagangkan. [*]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.