Rp679 Juta: Banda Aceh Pilih Citra, Virus Buzzer Menyebar dari Istana ke Balai Kota
Oleh Hamdan Budiman
Pemred Koran Aceh
Kita hidup di era aneh. Zaman dulu, pajak dipakai buat bangun jalan, sekolah, atau puskesmas. Sekarang? Pajak dipakai buat… bikin konten TikTok dan Instagram. Yes, selamat datang di dunia politik pencitraan ala buzzer dan influencer.
Jokowi yang pertama kali populerkan gaya ini: punya pasukan medsos, buzzer siap tempur, influencer siap jual gaya. Semua kritik dipoles seolah salah, semua kebijakan pemerintah dipoles seolah benar. Intinya, kalau ada masalah, jangan selesaikan. Cukup bikin konten, kasih filter aesthetic, selesai.
Dan ternyata resep ini menular sampai ke daerah. Lihat saja Pemko Banda Aceh. Tahun 2025, lewat Diskominfotik, mereka anggarkan Rp679 juta hanya untuk bikin konten Instagram dan TikTok.
Seperti dikutip media online, Tiga paket pekerjaan lho, serius banget. Pertanyaannya: apa rakyat Banda Aceh minta jalan mulus atau feed IG yang rapi? Mau air bersih atau reels yang estetik?
Rp679 juta itu bukan uang kecil. Itu uang pajak. Uang dari rakyat kecil yang bayar parkir, bayar listrik, bayar ini-itu. Tapi apa balasannya? Joget di TikTok. Hebat kan, rakyat bayar untuk ditipu dengan senyum-senyum kamera.
Masalahnya, citra digital ini cuma kayak make up tebal di wajah orang sakit. Dari jauh kelihatan glowing, tapi begitu didekati tetap pucat. Influencer dan buzzer itu tukang poles, bukan tukang kerja. Mereka bisa bikin dinding lapuk terlihat baru di foto, tapi tetap keropos di dalam.
Dan jangan lupa: kebohongan itu enggak bisa bertahan lama. Mau bayar buzzer segudang, mau bikin konten tiap hari, fakta tetap bakal keluar. Rakyat makin melek, makin sadar, makin enek. Yang tersisa cuma satu: ketidakpercayaan.
Jadi, kalau ada pemimpin yang sibuk bikin konten tapi lupa kerja, pesan saya cuma satu: filter Instagram enggak bisa nutupin jalan berlubang.[]
Tidak ada komentar