APBA 2020 Memang Perlu Dievaluasi
Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Dahlan Jamaluddin, mengatakan evaluasi
program-program dalam APBA adalah kewenangan anggota dewan dalam bentuk
pengawasan, termasuk APBA 2020.
Dewan akan mempertanyakan
tentanng urgensi program-program kegiatan dalam APBA 2020. Apa manfaatnya
untuk kepentingan masyarakat, karena DPRA 2019 – 2024 tidak ikut dalam
pembahasan dan pengesahaan APBA 2020 yang disahkan satu bulan sebelum
pelantikan anggota DPRA hasil pemilu 17 April 2017.
Bagi kita ‘Membedah’
program-program di APBA bukan untuk membahas ulang APBA 2020 adalah sah-sah
saja, apalagi melihat realisasi anggaran 2019 yang akhir-kahir ini banyak
mendapat sorotan publik, baik menyangkut sasaran maupun target realisasinya.
Dulu Aceh pemegang rekor
keterlambatan pengesahan anggaran. Selalu terlambat ini, paling tidak sudah
sejak tahun 2005 lalu. Sebagai ilustrasi APBA 2005 baru disahkan 26 April 2005,
APBA 2006 (27 Maret 2006), APBA 2007 (18 Mei 2007), APBA 2008 (24 Juni 2008), APBA
2009 (29 Januari 2009), APBA 2010 (19 Maret 2010), APBA 2011 (15 April 2011),
dan APBA 2012 disahkan pada 31 Januari 2012.
Sedangkan pengesahan
anggaran tahun 2020 lebih cepat dua bulan dari jadwal, malah Plt Gubernur Aceh
Aceh, Nova Iriansyah mengatakan, pengesahan APBA 2020 berhasil memecahkan
mitos pengesahan anggaran tidak bisa dipercepat minimal sesuai jadwal selama
ini.
Mencuatnya protes publik
terhadap anggaran hibah untuk KADIN Aceh yang hampir mencapai dua milyar dan
penggunaan APBA 2019 100 milyar untuk pengadaan mobil dinas, serta angka
realisasi anggaran 2019 makin menguatnya indikasi memang diperlukan adanya
evaluasi menyeluruh terhadap APBA 2020
Evaluasi anggaran 2020 tentu
yang paling urgen untuk menilai sejauh mana penggunaan anggaran berdampak
langsung pada pengentasan kemiskinan dan pengangguran, karena kedua persoalan
itu masih sangat tinggi ditengah dana Otsus yang dianggab mencukupi bila
digunakan tepat sasaran.
Baru-baru ini Menteri
Keuangan, Sri Mulyani merilis data, bahwa 70 persen anggaran daerah digunakan
tidak untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan aparatur pemerintah
semata.
Di
Aceh bukan saja kemamfaatan anggaran yang jadi masalah, tetapi sampai target
relalisasi APBA selalu banyak Silpa, entah karena SKPA yang tak profesional,
sehingga PLT Gubernur merasa berat kerja sendiri. (*)
Tidak ada komentar