HIKAYAT PALEH DIN SAJA Sebuah Tabuh Ruh dan Tubuh
Oleh: Muhammad, M. Pd
Hikayat bagi orang Aceh adalah medium tonggak
kebudayaan, di dalamnya fungsi-fungsi ilustratif menjadi kontemplasi pembentuk
peradaban alam pikir manusia dari masa ke masa.
Hikayat Paleh Din Saja juga dimaksudkan sebagai
kesungguhan yang sahaja guna turut membongkar dan lalu mengemas pikiran-pikiran
hidup yang dialami diri penyair juga diri diluar penyair Din Saja.
Manusia meraba dan menjulur tangannya untuk
menggapai masa depan, sebab manusia adalah unsur dari alam raya yang dititipi
kemampuan pikir dan kuasa mewujudkan pikiransebagai bentuk pembangunan ruh dan
tubuh.
Hikayat Paleh yang dimaksud di sini bukanlah
hikayat tradisi atau sastra lama dalam kebudayaan Aceh dengan secara komplit
mengisahkan perjalanan hidup tokoh, pergolakan, konflik dan misalkan ada tentu
jalan keluar dari persoalan sang tokoh berbentuk pengisahan sang peng-hikayat
sampai akhir hidup sang tokoh.
Namun, mencermati sajak-sajak Din Saja yang
konon sering sekali tanpa sadar telah menjadi irama perjalanan Aceh dalam
melintasi pra-konflik, pasca-konflik, bencana alam gempa dan tsunami disusul
bencana sosial yang mendampakkan arah pembangunan Aceh bagai kehilangan
titisan.
Ilham dan historisme Aceh dalam menata pikir
dan jalan pikir telah pernah menyibukkan orang-orang se-bumi untuk tahu dan
mengenal langsung seperti apa Aceh? dan bagaimana Aceh sebagai sebuah negeri
yang dijuluki Serambi Mekkah tersebut
membuktikan kebertahanannya dalam era dan zaman?, mengapa demikian, jawabannya
tentu karena Aceh berbeda alias ‘hana
saban’.
Pendekatan yang dihadirkan Din Saja dalam
Hikayat Paleh adalah mengemukakan sindiran dengan halus sekaligus tegas juga
tegar. Paleh adalah dialektika responsif seseorang untukmemandang perilaku
lawan.
Kata ‘Paleh” dalam bahasa Aceh juga dapat
dimaknai sebagai ‘kekurang-ajaran, cerdik namun licik’, juga secara umum dapat
dimaknakan kata ‘paleh’ sebagai ketidaksopanan dalam perangai hidup seseorang.
Din Saja melalui karyanya kerap mengetengahkan
kepada pembaca juga peminat dengar baca
puisinya tentang ladang-ladang subur
pembodohan, kekeliruan-kekeliruan yang dipelihara, juga bahkan sesuatu yang
sederhana namun salah di dalam hidup manusia dianggap tidak mengapa sehingga
menjadi semacam pembiaran.
Keingintahuan berubah menjadi keengganan
setelah diamanahi ilmu pengetahuan, ini terjadi di Aceh dengan posisi tingkat
kemapanan orang Aceh dari pendidikan ilmu agama (ilmu akhirat) berkoneksi
dengan kesanggupan melahirkan para alumni pendidikan ilmu pengetahuan untuk
dunia.
Namun, dalam sindiran ‘paleh-nya’ (kepura-puraan seolah tidak tahu padahal tahu)
orangAceh, masyarakat Aceh berbagai tingkatan kesejahteraan oleh Din Saja
dianggap sebagai pembiaran, semacam ketidakmauan menghiraukan, penipu yang
secara hakikat adalah menipu dirinya sendiri.
Pembangkangan atas nilai-nilai kewarasan dianggap
oleh penyair Din Saja sebagai ‘kejahatan dalam segala tingkatan rendah
tingginya’. Pendekatan menyindir digunakan penyair untukmembongkar rasa
enak-tak enak.
Kata ‘paleh’
bagi sebagian masyarakat Aceh juga dimaksudkan memberi teguran namun tanpa maksud menjatuhkan,
irrasional memang sebab sesuatu yang hitam tetap mesti ditangani sebagaimana
menangani hitam, jangan abu-abu.
Lewat puisi ‘Negeri Perampok’ Din Saja menulis
realitas Aceh masa kini; /kalau negeri
dipimpin perampok/jangan berharap akan terjadi kejujuran/sebab, bagiperampok,
kejujuran adalah sebuah dosa.
Lalu, dibait lain; /perampok sekarang terlalu canggih/mereka memiliki gelar/ada yang
sarjana hewan/ada sarjana agama/ada yang insinyur/bahkan ada juga yang ulama/.
Di bagian ini terpapar gaya ‘paleh’ dianalisa Din Saja terhadap
tokoh-tokoh yang padahal sepatutnya memberi contoh baik bagi masyarakat
khususnya di Aceh, namun tokoh-tokoh tersebut malah ‘kurang ajar’, ‘menipu’, ‘tidak
sopan’, tidak pantaslah mereka
berbuat kejahatan dengan menjadi perampok di negerinya.
Di penutup dari sajak yang sama (Negeri
Perampok) Din Saja juga menggunakan sindiran halus yang padat dengan anjuran
agar pembaca karyanya menyadari untuk kembali menggunakan akal sehat, pikiran waras
tentang bagaimana sikap dan sifat-sifat ‘Paleh’ itu memainkan perannya di
kehidupan masyarakat,..
/orang-orang yang diberikan
amanah/untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan/lalu dia bangga dengan pekerjaan
itu/orang-orang itu adalah orang-orang munafik/orang-orang sombong karena
menyatakan/tanpa kemauan dirinya pekerjaan itu tidak pernah ada/.
Penyair tersebut ingin menjawab akar masalah
bangsanya, dengan menawarkan pilihan
pilihan kata (diksi) sederhana, mudah dipahami
maksudnya untuk menggerakkan ruh dan tubuh manusia agar bergetar, agar sadar
bahkan bila perlu didorong-dorong jiwa dan hati mereka untuk segera terjaga
karena sekarang ini sudah saatnya manusia bangun dari tidur panjang kebiadaban.
Sajak-sajak Din Saja yang lain dalam koneksi
‘Hikayat Paleh’ juga menyuguhkan kenyataan-kenyataan bangsa yang dimaknai
keliru menurut Din Saja, semisal pada judul; Sebuah Episode Kontekstual, di
dalamnya tertulis awal mula Hikayat Paleh;
kuceritakan sebuah kisah negeri
yang pernah jaya
pemimpinnya adil taat beragama
rakyatnya rajin tekun beribadah
teguh bersatu mencipta kedamaian
satu sakit yang lain menjerit
sama berganti tahun berjalan
bermula peristiwa kesalahpahaman
lalu tercipta paham perselisihan
terpendam lama dalam perasaan
akhirnya mengoyak darah
bertumpahan
perpecahan menjalar dimana-mana
persaingan menjadi modal utama
kecemburuan menghebat serta
menggil
menjadi siksa dan malapetaka.
*Penulis adalah pengamat seni. Menamatkan S2 Bidang Bahasa dan Sastra
Indonesia Unsyiah 2016.
Tidak ada komentar