INIKAH AMERIKA: Bermula dari Paket Souvenir Book of Washington Hingga Film Killing Lincoln?

Sosok Abraham Lincoln dalam lukisan Nourman Hidayat, 2018.
Oleh : Nourman Hidayat*

Pada tahun 1989 Aceh masih didera konflik, saat itu saya masih berseragam abu-abu, sebagai pelajar di SMEA Negeri Sigli.

Ketika melintasi kantor sekolah, petugas kantor tiba-tiba menyerahkan sebuah paket berwarna coklat kepada saya, di sana tertulis nama pengirim ‘Ayahanda, Abdurrahman Ramli’ alamatnya pun tertera jelas bertuliskan: Dubes Republik Indonesia untuk Amerika di Washington DC, USA.

Ketika usia sekolah, saya sudah aktif di organisasi fillatelis dan sering berkorespondensi baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Beberapa surat saya tujukan kepada sahabat pena, juga untuk duta besar Indonesia di luar negeri. Dari beberapa surat, hanya dubes RI di Amerika dan Swiss yang membalas surat saya.

Salah satunya Abdurrahman Ramli, seorang tokoh Aceh yang diamanahkan oleh Presiden Soeharto sebagai dubes RI di Amerika Serikat.

Meski belum pernah bertemu, beliau berkenan membalas dan mengirimkan bingkisan istimewa kepada saya, sebuah buku. Sedangkan Dubes di Swiss, saya lupa namanya, memberikan sebuah kartu nama putih dengan desain super, sederhana, klasik, ditulis dengan huruf halus kasar.

Sebuah buku ukuran besar hard cover full color. Judulnya Souvenir Book of Washington, sudah di tangan. Ada label harga bertulis 7.50 dollar. Isinya berupa foto alam, tempat bersejarah, monumen dan sebagainya, ditulis dalam empat bahasa, Inggris, Spanyol, Belanda dan Prancis. Sedangkan saya yang masih udik dalam hal bahasa cukup puas membaca beberapa kata sederhana dan melihat-lihat gambarnya saja.

Dari seluruh halaman di buku itu, ada satu gambar patung tokoh yang menjadi perhatian saya. Sosok berupa lelaki duduk rapi dengan sinar lampu sorot kuning pucat yang terang membuat siluet wajah patung itu begitu tegas. Rahangnya menonjol kuat dan matanya tajam.

Tangan kirinya tergenggam kuat. Perkiraan saya, sepertinya orang di dalam gambar tersebut berkarakter serius dan keras kehidupannya. Sosok garang itu bernama Abraham Lincoln.

Awalnya saya tak mau repot mencari tahu siapa sosok Lincoln ini. Meski saya kenal beliau salah satu presiden Amerika, namun teritorial Amerika yang merupakan batas kekuasaan Lincoln belum pun saya baca. Pastinya hanya sepersekian persen dari daratan di lingkaran bola dunia.

Amerika adalah negerinya Lincoln, salah satu dari ratusan nama negara lainnya yang bergabung di PBB dan ‘sering nakal mengolok-olok dunia' dengan hak vetonya terkait Israel dan Palestina, mendominasi berbagai kepentingan negera-negara kawasan yang bergabung di PBB.

Negerinya Lincoln mengklaim pertama sekali (1969) berhasil mendaratkan pesawat ulang alik Apollo 11 ke bulan dan tak pernah mengulanginya sampai sekarang. Namun kabar terakhir  berkembang bahwa pendaratan Neil Amstrong pun dituduh hoaks.

“Sains telah mati “ kata John Morgan, penulis di Scientific American dalam buku The End of Science. Meski saya tidak setuju dengan ide dan tema dialog ilmiah Morgan dengan beberapa ilmuan terkait keputusasaan itu, namun, sepertinya, teknologi klaim Amerika ini sudah jenuh, mengkhawatirkan.

Amerika sebagai kandidat satu-satunya kekuatan di dunia yang sangat diperhitungkan, merasa diusik Uni Soviet dalam perang dingin sekian lama hingga negeri Uncle Gorbachev ini bubar dan gulung tikar pada Desember 1991 .

Tak cukup itu, Hollywood-pun lalu mengolok-olok Sovyet dengan film Rambo III. Tak ketinggalan group music cadas asal Jerman, Scorpion, menyanyikan lagu cinta untuk ibukota Uni Sovyet, Moskow.

“i follow the moskwa
down to gorky park
listening to the wind of change
an august summer night
soldiers passing by
listening to the wind of chang “.

Namun itu tak cukup mengangkat nama Amerika sebagai kekuatan ril dunia. Banyak propaganda yang terjadi sehingga berbagai negera harus memberi jarak atas klaim mereka lebih unggul dalam hal peradaban khususnya terkait propaganda bohong Word Trade Centre dan bangkrutnya negara adikuasa ini dalam perang Iraq yang ditulis Joseph Stiglistz dalam buku : “The Three Trillion Dollar War: The True Cost of The Iraq Conflict “.

Negeri Linconl ini pun lalu pernah mengalami fenomena American Shutdown yang terjadi tepat tanggal 1 Oktober 2013, saat itu Pemerintah Amerika yang dipimpin Obama tak mampu membayar gaji 800 ribu pekerjanya seperti iklan REST IN PEACE Amerika yang memalukan.

Inilah yang saya maksud dengan teritorial kekuasaan dan ekonomi terbatas berisiko. Sebuah kondisi yang di akhir tulisan ini sangat mempengaruhi kekuasaan sekelas Presiden Lincoln.

Sosok Dunia Pembebasan Perbudakan

Di Indonesia, pengetahuan tentang biografi sosok yang menjadi penanda bangsa tertentu cukup sedikit diperoleh, justru pada masa Pemerintahan Suharto ketika Orba berkuasa negeri ini penuh hafalan sejarah lokalitas. Meskipun hafalan-hafalan yang diajarkan di sekolah tersebut akhirnya hanya sebatas hafalan semata, kurang dimaknai diperdalam.

Saat itu, para pelajar lebih mudah mengenal Kolonel Untung dan DN. Aidit di film G 30S/PKI ketimbang arsitek gedung Wall Street Centre atau siapalah namanya yang punya Microsoft. Karena nama-nama di atas tadi sering disebut-sebut dan ditanyai di soal ujian sekolah dan pertanyaannnya tidak akan berubah sampai tamat SMP.

Ketika itu bagi saya sendiri pun, nama Lincoln hanya mengisi ruang kosong saja. Tersimpan di sana di selembar gambar kiriman Souvenir Book of Washington oleh Dubes RI di Amerika , dan ‘suatu saat’ berguna, pikir saya.

Pada musim penghujan di ujung tahun 2012, atau 23 tahun kemudian, saya tegak berdiri di hadapan sebuah poster film di bioskop Cinema XXI di Kota Casablanka Jakarta Selatan. Sebuah poster yang diterangi lighting sedikit redup, terpampang wajah yang mirip dengan gambar di buku souvenir dari Dubes RI dulu itu.

Pemeran film dalam poster bioskop itu adalah sosok lelaki berahang kaku dan sorot matanya tajam, dipermak sutradara Tony Scott menjadi sosok Abraham Lincoln dengan judul yang memiriskan hati, ‘Killing Lincoln’. Sebuah film sejarah.

Di saat para calon penonton menikmati cemilan sambil menunggu pemutaran film, saya berdiri lama di sana. Sendirian. Sekarang saya tersadar, sosok laki-laki Ini benar-benar serius ternyata.

[Apa yang kita dapat dari seorang Abraham Lincoln?]


Souvenir Book of Washington kiriman Dubes RI di Amerika untuk Nourman Hidayat, Foto: Nourman.

Sejarah Lincoln adalah sejarah perjuangan penghapusan perbudakan yang menjadi identitas Amerika yang sampai akhir abad 19 sepertinya tak ada harapan untuk dirubah. Ancaman perang saudara dan minatnya membaca banyak buku menjadikannya presiden terbesar dalam sejarah Amerika. Dia mengabaikan gereja meski keluarga besarnya bergabung pada Gereja Baptis Bardshell.

Sejak abad 16, warga berkulit hitam Afrika diburu dengan kejam dan liar untuk diperdagangkan di Amerika. Puncaknya pada tahun 1713 saat dilakukan perjanjian Asiento (El pacto del asiento de negros) antara Spanyol dan Inggris yang memberi monopoli kepada Inggris untuk mengimport budak negro dari Afrika ke Amerika.

Lincoln tampil dengan politik dan aksi yang gemilang. Isue perbudakan menjadi terang benderang di tangannya. Dia berkampanye tanpa harus turun ke jalan.

Dia dinobatkan menjadi bapak pembebas perbudakan modern. Melalui Emansipation Proclamation tanggal 22 September 1862, merupakan tanda berakhirnya perbudakan di Amerika Serikat dan ini terjadi di Amerika, Sebuah langkah awal yang baik.

Lincoln serta merta mendapat tempat di hati rakyatnya. Para budak yang masih ditemukan di waktu itu secara simbolis mulai mendapatkan kebebasannya. Mereka dilepas namun tak mau beranjak jauh dari tuannya.

Ini sangat mengguncang !!

Apa yang terjadi?

Bagi para budak, dunia luar yang gemerlap dipahami sebagai kiamat yang begitu menakutkan. Kapitalisme yang menggantikan feodalisme Amerika seperti siap menerkam mereka.

Ras-diskriminasi di luar sana masih menjadi hantu besar dan merusak pribadi mereka yang tak beranipun bercita-cita. Para budak itu tak siap dan sejak lama mereka tak siap. Mereka terlahir sudah menjadi budak sebagaimana orang tua mereka.

Lincoln dengan gelar besar pembebas perbudakan belum berhasil membebaskan rakyatnya secara mental. Jiwa-jiwa sakit dan rapuh itu belum terobati dan butuh waktu sekian lama untuk merubahnya menjadi pribadi yang baru. Sebuah misi pembebasan budak diperlukan sesuatu yang lebih kuat dan waktu yang lama.

Lalu apa yang terjadi dengan pembebasan budak masa Islam?

Pertanyaan ini didasari oleh pertanyaan orang kiri yang menyerang Sayid Muhammad Qutb dengan persangkaan di kepala mereka, seolah Islam tak pernah membebaskan budak.

Saat imperium Romawi masih gegap gempita menguasai dunia, peradaban paling besar mereka adalah pertarungan gladiator. Arena Collosseum dibangun megah oleh kaisar dan penguasa waktu itu. Salah satu nama besar gladiator adalah Spartacus. 

Dari semua gladiator ini, tak ada satupun yang merdeka. Mereka adalah budak yang disanjung sebelum pertarungan dimulai dan dihinakan saat menang apalagi saat kalah. Mereka dijadikan seperti binatang yang tak berhak menentukan nasibnya sendiri.

Saat sekali waktu Anda ke Italy dan selfi di depan Collosseum, sejatinya Anda sedang berpose di depan peradaban paling buruk dalam sejarah dunia. Bangunan ‘megah’ yang dibangun pada masa Kaisar Vespasian tahun 72 Masehi itu mampu menampung 50 ribu penonton yang juga berperadaban paling buruk di dunia.

Dio Cassius seorang ahli sejarah mengatakan bahwa ada sekitar 9000 hewan buas yang telah terbunuh dalam 100 hari pertama peresmian Collosseum itu. Colosseum terinspirasi dari otoritasi spritualitas mereka, dewa matahari.

Lalu Islam muncul di tengah hegemoni Romawi. Peralihan idiologi berikut peralihan sikap dan metodelogi. Perlahan tapi pasti karena perubahan itu tak bisa dipaksakan dengan serta merta. Akan muncul goncangan dan penolakan dari mereka yang mulai dicerahkan.

Penerimaan atas konsep Islam menyebabkan semua perintah mulai dilaksanakan dengan sepenuh hati. Totalitas ini berasal dari Syumuliatul Islam (kesempuraan ajaran Islam) atas berbagai sisi kehidupan manusia. Antitesa dari sekulerisme yang menyergap ajaran Kristiani.

Setiap muslim yang melakukan kesalahan dan pelanggaran, salah satu hukumannya adalah bebaskan budak. Kepada pemilik budak ini Islam mengajarkan agar jangan memanggil mereka budak, melainkan harus dianggap sebagai bagian dari anggota keluarga sendiri.

Mereka mendapatkan kasih sayang sebagaimana anggota keluarga lainnya. Mereka terbiasa diajak untuk berdagang dan bersosialisasi bersama tuannya.

Lalu saat tiba masanya budak-budak itu dibebaskan, apa yang terjadi? Budak-budak itu juga tak mau meninggalkan tuannya. Bagi mereka, keluarga tuannya adalah keluarganya juga. Tempat dia menimba ilmu dan kemerdekaan jiwa. Sesuatu yang sulit terjadi pada masa kekuasaan sebelumnya.

Secara ekonomi mereka sudah mandiri dan dipercayakan memegang uang hasil perdagangan. Secara politik mereka ada yang mendapatkan posisi terbaik di antara para sahabat, lihatlah Bilal bin Rabbah. Bilal menjadi muazzin Rasulullah dan dijamin masuk surga meski dia dari golongan berkulit hitam legam yang dibeli Abu bakar dari tuannya yang kasar.

Bagi kita, sekarang, di sini, di tempat kita duduk dan bersenda gurau saat ini, perilaku mental budak masih berlaku. Masih utuh sebagaimana yang disisakan oleh Abraham lincoln beberapa waktu lalu.

Kita lebih siap diberikan jabatan sebagai anak buah, bawahan, atau apalah namanya itu meski pekerjaannya begitu besar dan tak proporsional untuk diemban.

Sebaliknya, kita akan bergegas menolak setiap jabatan, ketua, bos, pimpinan atau apapunlah namanya meski tidak dibebankan tugas sekecil apapun.

Sepertinya, segala yang terjadi pada demokrasi sekarang, kebuntuan, kasar, tak lagi garang, dan puncaknya nyaman kena tipu, adalah awal negeri ini melangkah mundur dan tak lagi eksis meski di mata negeri sekecil Timor Leste.

Kita bagaikan kapal kertas kecil yang dimainkan dengan lidi di atas sebuah nampan air yang tenang, tak menyadari gelombang besar.

Mental petarung kita, termasuk sebagian aktivis 66, 98 dan setelah itu mengalami proses under estimate yang kronis dan merusak sel-sel saraf. Meski tampil narsis di Kongres Asia Afrika, sejatinya kita sebagaimana pesan Sudjiwo Tedjo:

"Jangan sengaja pergi agar dicari, jangan sengaja lari biar dikejar, berjuang tak sebercanda itu ".

*Penulis adalah advokat.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.