Dampak Pandemi Covid-19 Dorong Krisis Kesehatan Mental Dunia

Lara Sukma, mahasiswi Jurusan Sosiologi Agama
di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Foto: Ist.
Oleh: Lara Sukma 

Pada awal tahun 2020 ini, dunia dikejutkan dengan wabah virus corona (Covid-19) yang menginfeksi hampir seluruh negara di dunia. WHO semenjak Januari 2020 telah menyatakan dunia masuk ke dalam darurat global terkait virus ini. 


Ini merupakan fenomena luar biasa yang terjadi di bumi pada abad ke-21, yang skalanya mungkin dapat disamakan dengan Perang Dunia II, karena event-event skala besar (pertandingan-pertandingan olahraga internasional contohnya) hampir seluruhnya ditunda bahkan dibatalkan.

Kondisi ini pernah terjadi hanya pada saat terjadi perang dunia saja, tidak pernah ada situasi lainnya yang dapat membatalkan acara-acara tersebut.


Mengingat di era sekarang begitu mudahnya akses penyebaran informasi tentang pandemi COVID-19 yang terjadi di berbagai penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia, berita terus menerus hadir mewarnai lini media sosial juga media massa.

Tak dapat dipungkiri, semua orang butuh pengetahuan dan update terbaru mengenai penanganan kasus yang semakin meningkat tiap harinya ini. 


Namun, berita yang beredar tak sedikit membuat masyarakat menjadi panik dan berdampak bagi kesehatan mental. Terlebih dengan imbauan untuk #dirumahaja dan social distancing yang juga memengaruhi kesehatan mental.

Rasa panik, stres, takut kehilangan orang-orang tercinta, dan perubahan aktivitas adalah segelintir dampak dari mewabahnya virus yang mengancam pernapasan ini.


Dikutip dari kompas.com, krisis kesehatan mental membayangi dunia karena saat ini jutaan orang di berbagai negara dikelilingi oleh kematian dan penyakit, serta terpaksa menjalani karantina, kemiskinan, dan kecemasan, akibat pandemi Covid-19.

“Isolasi, ketakutan, ketidakpastian, dan kekacauan ekonomi, merupakan penyebab dari stress psikologis,” kata direktur departemen kesehatan mental Organisasi Kesehatan Dunia, Devora Kestel.

Ia menyampaikan hal itu ketika memaparkan laporan PBB dan panduan kebijakan pada kesehatan mental dan Covid-19.

Kestel mengatakan, peningkatan jumlah dan keparahan gangguan mental seharusnya membuat pemerintah menempatkan isu ini sebagai yang yang utama dalam responnya.

“Kesehatan mental dan kebahagiaan masyarakat terdampak cukup berat oleh krisis ini dan seharusnya jadi proritas untuk segera diatasi,” katanya.

Laporan PBB itu menyoroti beberapa bagian masyarakat yang rentan pada stres mental, termasuk anak-anak dan remaja yang terisolasi dari teman-teman dan sekolahnya, tenaga medis yang menangani banyak pasien dan kematian akibat Covid-19.

Pakar psikologi juga mengatakan anak-anak sebenarnya juga cemas. Selain itu, ditemukan juga peningkatkan gangguan depresi dan kecemasan pada ank di beberapa negara.
Catatan lain adalah kekerasan dalam rumah tangga yang meningkat dan tenaga medis sangat membutuhkan bantuan psikologis.

Reuters beberapa waktu lalu juga memberitakan hasil wawancara dengan dokter dan perawat di Amerika Serikat yang mengungkapan bahwa mereka atau koleganya mengalami kombinasi panik, kecemasan, berduka, insomnia, dan juga mimpi buruk.

Istilah ‘social distancing‘ di ubah menjadi ‘physical distancing‘. Walau kita membatasi pertemuan atau kontak fisik, bukan berarti interaksi sosial kita terbatas. Betul sekali, pada pasien depresi dan cemas, kondisi saat ini bisa berpotensi memperburuk kondisi mereka.

Beberapa pasien depresi atau gangguan cemas terbantu dengan adanya human connection atau interaksi sosial yang positif, seperti kumpul dengan teman, bercanda, melakukan aktivitas bersama, bahkan bekerja bersama-sama.


Nah, pada saat seperti ini, bukan berarti interaksi sosial tersebut hilang. Harusnya menyarankan pasien untuk tetap mencari human connection dengan bantuan teknologi. Kita bisa tetap melakukan aktivitas harian sambil video call dengan teman.

Selama wabah covid-19 ini, kian terdengar beberapa orang jadi bisa melakukan reuni secara online dengan menggunakan aplikasi, bermain game bersama secara online, bahkan menonton film bersama-sama sambil video call. Human connection tetap ada walaupun jarak memisahkan.

*Penulis adalah mahasiswi Jurusan Sosiologi Agama di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.