Kebijakan DKA Jika Din Saja Memimpin

Din Saja ketika menyampaikan sambutan
pada Malam Baca Puisi Din Saja, 1 Maret 2020. Foto: Anto.

Oleh: Muhammad, M. Pd


Hari-harinya adalah seni, begitulah sosok Din Saja yang saya kenal punya rahasia bertahan hidup hanya lewat kesenian. Beberapa pekan pasca pandemi covid-19 seluruh jadwal berkesenian tiba-tiba ambruk, kalender even terkait seni di Aceh menjadi kenang-kenangan, Kamis (2/7/2020).

Namun, Din Saja sempat menggelar pertunjukan berkelas tepat 1 Maret 2020 di Pango, Banda Aceh dengan tajuk yang bikin trending “No Meulake No Meugade” alias tidak meminta dan tidak menggadaikan diri.

Penonton tumpah ruah, dua seniman selain dirinya turut mendapat kesempatan untuk membuktikan bahwa Aceh tetap punya kekuatan dalam seni tanpa harus mencetak proposal memohon bantuan dana atau melakukan lobi di pasar gelap bernama kolusi anggaran seni.

Perhatian Din Saja terhadap persoalan profesi seniman memang unik, jika selama ini hanya mendengar dan sesekali dengan kesan yang serba digit untuk merespons ramainya tokoh-tokoh muda maupun tua sudah mulai kasak-kusuk mencalonkan diri akhirnya bermuara pada sebuah keputusan.

“Ya, saya mundur dari partai tertentu, dan memberanikan diri masuk bursa calon pimpinan Dewan Kesenian Aceh, saya pikir, jika orang lain bisa, mengapa saya tidak?,” ungkap Din Saja di rumahnya.

Saat ini Din Saja tetap aktif menulis puisi, beberapa antologi puisi baru tingkat nasional masih menyertakan puisi miliknya, perkembangan sastra puisi maupun drama dalam kehidupan berkesenian yang dijalaninya senantiasa mengalir.

Di bidang seni puisi, Din Saja tampak lebih bersinar dibanding kalangan seniman seumurannya, ia peraih empat besar nasional kompetisi Antologi Puisi Terbaik even HPI (Hari Puisi Indonesia) menjadi catatan pokok bahwa Aceh lewat tangannya tetap mampu menunjukkan taring puisi yang layak dijadikan barometer nasional.

Sepanjang lima tahun terakhir wara-wiri Jakarta merupakan bukti bahwa seniman berdarah Aceh-Padang ini memang bukan sastrawan kampungan. Meskipun di bidang teater beberapa tahun terakhir telah sempat mentas di Pulau Jawa dalam even diselenggarakan Putu Wijaya dan berhasil mengantar aktornya meraih penghargaan aktor terbaik saat itu, keberadaan Teater Alam yang diinisiasinya agar dapat terus bertahan ternyata belum memberikan hasil seimbang dibanding keberhasilannya di bidang sastra puisi.

Saat ditanya apa alasannya ingin mengubah format kebijakan di lembaga DKA, ia menguraikan secara gamblang bahwa respon publik terhadap seniman di Aceh sangat tidak menggembirakan, seniman menurut versi yang dipahami publik dalam pandangannya adalah sosok penghibur, bisa dibayar murah.

Seniman sepertinya menurut masyarakat kita bisa dimanfaatkan demi kepentingan oknum pejabat, bahkan sebagai sebuah profesi, cenderung seorang seniman itu tampaknya lebih diremehkan.

Seniman kerab beroleh hinaan, dicoret kapan pun jadwal manggungnya jika tak mau ikut angguk atas apapun keputusan manajemen pertunjukan yang disiapkan pejabat tertentu, sangat tak adil bagi sosok yang justru sepatutnya harus dimuliakan, apalagi seniman adalah pencerah, nyala dari padamnya pemikiran di zamannya.


Arah Kebijakan DKA Jika Din Saja Memimpin

“DKA bisa hidup kalau didukung seluruh seniman dan pengurus DKA wajib menyertakan seniman memikirkan DKA. Sebab, DKA itu milik seniman dan untuk kepentingan seniman," urainya membuka dialog terkait argumen visioner versi Penerima Anugerah Seni Aceh 2015 dari Pemerintah Aceh tersebut.


DKA butuh regulasi untuk mendapatkan anggaran dan perlindungan terhadap seniman dan kesenian. Regulasi bisa berhasil kalau pengurus DKA mengajak seluruh seniman memikirkan, melakukan pendekatan dan dialog dengan pemerintah dan DPRA. Kalau ini terjadi, Insya Allah regulasi untuk DKA akan diperoleh," paparnya optimis.

DKA sendiri menurut pernyataan Yusrizal (salah seorang seniman akademis Aceh, mantan pengurus DKA 4 tahun pada masa Helmi Hass memimpin DKA) memiliki anggaran tahunan hingga mencapai 200.000.000 Rupiah, ini adalah potensi yang tidak sedikit jika masih bisa dipakai untuk mengelola kepentingan kalangan seniman Aceh agar kian memiliki prospek di bidang ekonomi kreatif di era sekarang.

Sumber anggaran untuk kesekian bisa didapat dari mana pun, baik dari Pemerintah Aceh, pemerintah pusat, swasta dan lembaga lainnya. Yang penting ada perencanaan kegiatan yang baik dan pendekatan tanpa kenal lelah sebagai lobi yang responsif dan berkesesuain dengan trend zaman.
Din Saja dalam perjalanan kepengurusan DKA sejak didirikan senantiasa terlibat di dalam turut menentukan roda kebijakan organisasi tersebut.

Saat ini, Nurmaida Atmaja (Ketua DKA 2014-2019) sendiri menyatakan siap mendukung pencalonan Din Saja dalam berjuang memenangkan bursa tokoh pemimpin DKA 2020-2025.

Pada era DKA pertama sekali didirikan dan dipimpin salah satu pendirinya yakni Sjamsul Kahar (Pimpinan Umum Serambi Indonesia), dirinya dipercayakan sebagai Sekretaris Komite Sastra, lalu pada saat DKA dipimpin Helmi Hass (Pimpinan media Cakradonya), ia juga menjadi Anggota Dewan Pengurus. Lalu pada masa Teuku Kamal Sulaiman, ia juga pernah menjabat Sekretaris.

Saat masa rehab rekon Aceh-Nias pasca Gempa dan Tsunami, Din Saja pernah menjabat sebagai Staf Senior Direktoriat Kebudayaan BRR NAD-Nias dan terakhir Penanggungjawab Bidang Agama, Sosial dan Budaya BRR Distrik Simeulue.

Hal tersebut menunjukkan kapasitas dan kapabilitas Din Saja dalam soal pengalaman keorganisasian di DKA telah cukup mumpuni untuk ke depan dapat lebih mampu menggerakkan roda organisasi tersebut lebih baik lagi dari kepemimpinan tokoh lain yang sudah-sudah.

Saat disinggung apa dan bagaimana prospek DKA di dalam keistimewaan statuta UUPA hasil perjanjian MoU Helsinki, Din Saja mengaku tidak terlalu memusingkan impian di siang bolong, baginya, relevansi Undang-Undang Pemerintahan Aceh tersebut belum mampu memberikan celah yang konkret dan berkepastian untuk mengurusi rakyat Aceh yang berprofesi sebagai seniman.

Bahkan bagi Din Saja, undang-undang tersebut hingga sekarang saja belum mampu mensejahterakan para ekskombatan GAM dan para loyalis pejuang yang telah mengorbankan justru darah rakyat demi kepentingan Aceh yang hingga hari ini belum mampu mengeluarkan cengkraman kemiskinan di negeri kaya hasil buminya tersebut, sehingga betapa memalukan Aceh menjadi paling miskin se-Sumatera.

"Saya punya semangat membuktikan diri untuk mencalon Ketua DKA, ini saya nyatakan dengan maksud sekaligus agar tak perlu malu-malu untuk bersaing di bidang seni maupun kelembagaan kesenian, katakanlah jika Anda memang Jago, ayo bertarung!" pungkas Din Saja di akhir dialog.

*Penulis adalah pengamat seni budaya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.