Mengenang WS. Rendra Lewat Megatruh ‘Daulat Rakyat-Daulat Hukum’
Daftar Isi
|
| Alm. WS. Rendra saat membacakan Megatruh. (Foto: Ist). |
Penulis:
Nab Bahany As | Budayawan Aceh yang berdomisili di Banda Aceh.
Rendra pernah menggelegarkan "Megatruh", kritik atas putusnya ruh bangsa. Kini ia tiada, menyisakan tanya: siapa penyampai Megatruh kedua?
koranaceh.net | Opini ‒
November tahun 1997, setahun sebelum kejatuhan Rezim Orde Baru di bawah
kekuasaan Presiden Suharto, Willibrordus Surendra Broto Rendra, yang lebih
dikenal WS. Rendra, memberikan sebuah pidato kebudayaan di Taman Ismail
Marzuki.
Judul pidato kebudayaan yang disampaikan Rendra saat itu hanya satu kata,
yaitu: "MEGATRUH". Pidato kebudayaan yang disampaikan WS. Rendra saat itu
sangat menggelegar, tajam dan sopan sebagai sebuah kritikan terhadap kondisi
bangsa Indonesia di bawah rizim kekuasaan Orde Baru.
Pidato kebudayaan Rendra itu, sekaligus Orasi ilmiahnya untuk Anugerah Doktor
Honolis Causa (Dr. HC) dari Universitas Gajah Mada. Pidato kebudayaan Rendra
kala itu hampir sebulan penuh ditanggapi, diulas di berbagai media masa, oleh
para ilmuan, intelektual, seniman dan budayawan di negeri ini.
Bahkan, beberapa media terbitan nasional (Jakarta), Yogya, memuat utuh naskah
pidato "Megatruh" yang disampaikan WS. Rendra saat itu. Saya sampai saat ini
masih menyimpan kliping "Megatruh" pidato kebudayaan Rendra tahun 1997, yang
dimuat utuh oleh Harian Media Indonesia kala itu, dalam dua hari secara
bersambung.
Saat itu, Rendra mengawali pidato kebudayaannya begini:
"Ya. Inilah pidato kebudayaan saya malam ini. "MEGATRUH". Mengat-ruh. Mengat,
artinya memutus. Ruh bisa berarti nyawa. Jadi, Megatruh adalah memutus ruh",
jelas Rendra dalam mengawali pidatonya.
Pidato kebudayaan ini, jelas sekali kedalam keilmuan yang dimiliki WS. Rendra.
Ia tidak hanya sebatas sosok penyair, dramawan, tapi Rendra adalah sejarawan,
budayawan, sastrawan, politikus, dan bahkan bisa jadi seorang antropolog,
sosiolog, yang tahu persis akar-akar sejarah dan budaya manusia Indonesia.
Hebatnya lagi, Rendra mampu meneropong sejarah bangsa Indonesia ini, yang
diaktualisasikan dalam kondisi berbangsa dan bernegara saat "Megatruh"
disampaikan tahun 1997 itu. Saat itu, kondisi bangsa dan negara seperti telah
telah terputus "ruh-nya" antara penguasa dan rakyat. Semua suasana itu dikemas
Rendra dalam "Megatruh".
"Suasana duka cita yang mendalam, bukan suasana perasaan semata. Tapi suasana
ruh yang putus membuat kita berada di alam yang kelam.
O akal sehat zaman ini!
Bagaimana mestinya kesebut kamu?
Kalau laku-laki kenapa seperti kuwe lapis?
Kalau perempuan kenapa tidak keibuan?
Dan kalau banci kenapa tidak punya keuletan?", Rendra mempertanyakan dalam
"Megatruh".
Daulat Rakyat-Daulat Hukum
Penyair yang dikenal "burung merak" ini dalam pidato kebudayaannya mengatakan,
kemajuan negara tidak mungkin diciptakan penguasa. Paling jauh penguasa hanya
bisa mengarah bangsanya maju setahap saja.
Tetapi perkembangan bangsa untuk bertahap-tahap, dari tahap pertanian, tahap
perdagangan, ilmu pengetahuan, filsafat, teknologi modern, hingga tahap
industri dan kemajuan kebudayaannya, hanya bisa dicapai dengan kemampuan
rakyat, yang selalu maju dengan adanya daulat rakyat yang dilindungi oleh
daulat hukum.
Tidak ada rujukan dalam sejarah dunia, kata Rendra dalam "Megatruh"nya, bahwa
pemerintahan yang totaliter bisa memajukan bangsanya dalam tahap-tahap
perkembangan kebudayaannya.
Apalagi menganggap rakyat sebagai kawula, bukan sebagai warga negara yang
dipimpinnya. Hidup rakyat tidak pasti. Inisiatif mereka dibatasi. Banyak
larangan ini dan itu. Sehingga rakyat, kata Rendra, tak bisa mengontrol atau
memberi tanggapan kepada kekuasaan. Sehingga daya hidup rakyat pun merosot.
Di akhir pidato kebudayaan "Megatruh"-nya, WS. Rendra mengatakan: "Tujuan
pidato saya malam ini adalah untuk secara jujur melakukan instospeksi budaya.
Negara kita akhirnya sudah merdeka. Tetapi kenapa bangsa Indonesia masih belum
juga sepenuhnya bisa merdeka? Bukankah tanpa hak hukum yang berfungsi vertikal
suatu bangsa, tidak bisa benar-benar merdeka?," tanya Rendra saat hendak
menyudahi pidato kebudayaan "Megatruh"-nya.
Terserah kita mengapresiasi kondisi negeri kita hari ini, apakah sudah atau
sedang, atau juga akan mamasuki "Megatruh" kedua. Jika memang benar negeri ini
sedang dlm "Megatruh" kedua saat ini. Rendra sudah tiada. Lalu siapa yang akan
menyampaikan pidato kebudayaan "Megatruh" kedua yang sedang terjadi di
Indonesia hari ini? Wallahu A’lam.
❖
