Lebih Fokus Eksis Sendiri, Seniman Indonesia Terbelah

 

Maming Hermawan, Pemerhati Seni Budaya Jawa Tengah. Foto: Ist.

*Wawancara Seni Budaya

Oleh: Maming Hermawan 

Semarang - Setiap profesi di Indonesia memerlukan konsistensi di bidangnya, demikian juga terkait eksis dan bergerak aktif untuk mencapai kemajuan profesi masing-masing, bagaimana dengan profesi seniman? Mengapa seniman Indonesia mudah terbelah dan terkotak-kotak?

Bukankah kesetaraan dan jenjang berkarir dalam seni dan aktivitas produksi karya seni memerlukan semangat kebersamaan, beberapa hal dianggap menjadi kendala dalam mencapai peningkatan kualitas dan kreativitas kesenian di Indonesia ditinjau dari pelakunya, yaitu seniman itu sendiri.

Baru terasa sulitnya berkiprah dalam kesenian ketika nuansa kekompakan dan kebersamaan para seniman ternyata tidak seide dan seideal yang diharapkan, barangkali faktor ego, ruang pikir yang domisili, sedangkan era kemajuan teknologi maupun informasi tak lagi dapat dan mampu dibendung.

Saat ditanya komentar oleh wartawan koranaceh.net soal apa sebab dan kendala maupun terobosan yang memungkinkan untuk mengatasi problem eksis dan ego seniman yang konon jadi salah satu faktor terbelahnya para pelaku seni di Indonesia, setidaknya fenomena sempitnya ruang berbagi dan berkarya bersama di kalangan profesi ini patut dikaji dan mendapat perhatian serius.

-----

PETIKAN WAWANCARA:

KA: "Mba Maming, apa iya para seniman itu gagal berkembang akibat egonya semata?."

Saya: "Lha itulah seniman itu egonya yang 'nggak nguatin', mereka lebih fokus membangun eksistensi diri dan karyanya sendiri. Padahal tanggung jawab seniman 'gak' begitu."

KA: "Selain berkarya, lantas apa tanggungjawab seniman yang lainnya.?"

Saya: "Ada tanggung jawab bagaimana kesenian bisa berkembang. Sudah sering saya katakan begitu di berbagai kesempatan berbicara dengan kalangan seniman dan penggiat budaya. Jadi tanggung jawab seniman dan budayawan itu tidak hanya karya, memvisualkan atau mewujudkan ide dan gagasan dalam konten seni budaya semata dan berlalu, namun selesaikah setelah begitu. Tidak."

KA: "Tanggung jawab apa rupanya bagi seniman setelah menyelesaikan tugas berkesenian mereka.?"

Saya: "Usai berkesenian tetap ada tanggung jawab lainnya seperti sosial dan politis. Banyak seniman karyanya bagus, membangun eksistensinya berhasil tapi lupa akan masalah yang sebenarnya dihadapi, yaitu masalah sosial dan politis itu guna menyiasati dan mengkhidmati pentingnya nilai-nilai yang dikandung oleh kesenian itu agar bisa memberi pemahaman reflektif bagi semua warga bangsa. Selain menjadikan hidup dan kehidupan manusia zaman sebagai inspirasi, mereka seniman juga harus mau menjadi pengubah dan pemerhati kesenjangan politik dan kesenjangan sosial itu."

KA: "Berat juga ya jadi seniman, lalu para penggerak dan pemerhati sosial dan politik tugas mereka apakah tidak menjadi sama saja dengan seniman.?"

Saya: "Nah itu dia, cara pandang seniman khan beda dan khas, bagaimana menjual pemikiran akan berbeda dengan menjual ide karya semata, tapi di sinilah pentingnya kolaborasi antar profesi, namun mustahil terjadi bila profesi sesama seniman saja tak kompak, sering tengkar dan 'nubruk' antar kubu kepentingan, ya kepentingan sosial dan politik itu pula penyebabnya, persaingan yang bahkan membelah persaudaraan itu."

KA: "Bagaimana bedanya dunia seni dulu dengan dunia seni sekarang ya dari sudut pandang kebersamaan.?"

Saya: "Perbedaan dunia seni antara tahun 65-an dengan masa sekarang ini jauh sekali, dulu seni dan senimannya benar-benar gerak dan peka sesamanya. Saling memberi pengaruh dan menjaga kekompakan meskipun dalam soal politik dan sosial seni di era itu justru tampil sangat reaksionis. Para seniman Indonesia itu menghasilkan gagasan-gagasan yang justru fundamental bagi bangsanya, nah sekarang, hanya sibuk membesarkan kepala suku, ya begitu."

KA: "Walaupun era sekarang dirasakan lebih bebas berekspresi dalam bidang seni, apakah yang kurangnya lagi.?"

Saya: "Sekarang ini semua teriak tapi kedengarannya kecil saja bagi kekuasaan ataupun bagi para peminat seni sekalipun. Para seniman saling sekat menyekat, kurang kompak, ego dan tak mudah disatukan, perhatian utama masing-masing ke lokalistik yang membatas itu justru dipandang sebagai kekuatan yang kecil semata di komunitas. Inilah yang bikin mampet. Satu tujuan iya, demi membangun bangsa dengan cara seni justru tidak bisa untuk bergerak bersama dengan kompak, maka mustahil sukses begitu."

KA: "Apa yang dilakukan menghadapi semua itu sebagai seorang peminat seni dan juga ibu rumah tangga."

Saya: "Sekarang yo jalannya sendiri-sendiri walaupun tujuan sama, tapi sebaiknya jangan malu mengakui karya rekan yang sudah berhasil, tumbuhkan apresiasi, jangan lupa itu dulu baru wajar memberikan kritik. Itu pandangan semata peminat seni dari kalangan ibu rumah tangga, jangan gaduh, belajar seperti halnya dalam keluarga, adem, tentu lebih berhasil dan bahagia, selamat bekerja untuk semua seniman Indonesia."

-----

Menyangka bahwa dengan bersaing ketat merebut panggung di era seperti sekarang ini yang konon pandemi covid-19 belum selesai, alangkah naif jika terus mengedepankan kebersamaan, timbulkan rasa persaudaraan dari dan dalam kalangan profesi seniman Indonesia. Semoga ujian berat pandemi mampu memberi hikmah kepada siapapun terutama kepada seniman di manapun berada.

*Penulis juga adalah Founder Kumpul Gayeng Seni dan Budaya, sebuah ruang tercipta untuk pengembangan karya seniman lokal Pulau Jawa.

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.