Ranah Pemungsian Pembangunan Fasilitas Pariwisata Sabang Hulu-Hilir
Oleh: Muhammad, M. Pd*
Sabang - Merasakan denyut perkembangan pariwisata di Aceh mulai dari Sabang adalah miniatur sekaligus preview keseluruhan setting pengembangan kepariwisataan di Provinsi Aceh, bagaimana tidak, seluruh tenaga, keuangan, investasi daerah sangat besar ditumpahkan ke daerah tersebut.
Kota Sabang menurut Wikipedia adalah berupa kepulauan di seberang utara Pulau Sumatera dengan Pulau Weh sebagai pulau terbesar. Pada tahun 2021 jumlah penduduk kota Sabang sebanyak 42.559 jiwa, dengan kepadatan 278 jiwa/km².
Profil Sabang sebagaimana pusat pariwisata di Aceh tidak lagi semata bagian strategi peningkatan kesejahteraan melalui pembangunan perekonomian berbasic pariwisata, namun telah menjadi cara pandang kebijakan Provinsi Aceh maupun nasional terhadap kawasan ini.
Terkait kebutuhan guna pengembangan kawasan pariwisata Sabang, Pemerintah Aceh mendorong komitmen Sabang untuk mencapai prioritas RPJM Sabang yaitu pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal, dan pengurangan kesenjangan antarwilayah melalui penguatan infrastruktur dasar, konektivitas, dan pengembangan wilayah strategis.
Caranya bagaimana? Menurut Staf Khusus Gubernur Aceh, Ir. Iskandar “Pemerintah akan membangun jalan lingkar di Pulau Weh, sehingga potensi wisata akan benar-benar bisa memberi manfaat bagi perekonomian warga.” ungkapnya dalam laman bappeda.acehprov.go.id. Hal ini dimaksud untuk penunjang utama destinasi wisata di Pulau Sabang.
Dengan dibangunnya jalan lingkar sebagai jalan alternatif demi memudahkan mobilisasi warga, Pemerintah Aceh sekaligus menghadirkan kesempatan atas adanya pengembangan kawasan wisata baru dari alur jalan lingkar yang dibangun tersebut, sehingga pemandangan yang disajikan di berbagai lintasan jalan yang dibangun tersebut sekaligus menambah konten keindahan di Sabang.
Selain peningkatan fasilitas, infrastruktur dasar dan konektifitas, Pemerintah Kota (Pemko) Sabang juga terus berupaya meningkatkan pemanfaatan dana publik daerah agar program pembangunan wilayah setempat dapat sesuai dan sejalan dengan rencana Pemerintah Aceh dan nasional, sebab APBN maupun APBA Aceh yang selama ini terus mengucur deras bagi Sabang dapat menunjukkan nilai tambah Pendapatan Asli Daerah khususnya dari peningkatan kunjungan wisata, pajak dan konten lainnya.
Sehingga, berbagai program kecamatan, juga desa-desa di wilayan Sabang terus turut berbenah demi meningkatkan pembangunan fasilitas pelayanan publik guna menunjang sektor kepariwisataan.
Dana-dana ini termasuk dana desa menjadi bagian vital pengembangan pembangunan kawasan wisata pada tingkat desa, sehingga aparatur desa tidak ketinggalan menyiapkan strategi pembangunan yang inklude di dalamnya.
Pembangunan Kepariwisataan Berketuntasan
Terkait grand design Sabang sejak terakhir 2020 oleh pihak DPR RI Komisi VI telah mengusulkan agar disusun atas kewenangan BPKS, sedangkan DPR RI sendiri melalui laman https://www.dpr.go.id/ di era tersebut menyatakan siap mendukung dari sisi anggaran agar kawasan pariwisata Sabang semakin maju dan modern.
Dengan penyusunan grand design Sabang, sepatutnya pembangunan hulu-hilir Sabang dalam berorientasi ketuntasan, artinya segenap pembangunan yang telah dianggarkan dapat sesuai dan searah dari komponen design kawasan wisata Sabang.
Hal ini sekaligus memberikan penekanan agar segala upaya penganggaran dana dari pusat, provinsi juga daerah Sabang tersebut tepat guna dan tepat sasaran, sehingga tidak ada penggelontoran dana milik publik diperuntukkan untuk kepentingan di luar selayak dan sepatutnya, sehingga berdampak munculnya proyek-proyek tanpa ujung, lain hulu, lain pula hilir, muncullah taman-taman hantu, gudang-gudang tercipta dari bangunan terbengkalai.
Pembangunan kawasan wisata tanpa konsepsi design yang berkelanjutan, justru akan menghasilkan perubahan wacana pembangunan menjadi penghancuran, dana-dana sebagai aset keuangan yang berubah bentuk menjadi aset fisik selanjutnya menjadi bangunan setengah jadi, terbengkalai dan kembali kepada nihilitas dari pembangunan, jangankan untuk keberlanjutan, mempertahankan dan mengembangkan apa yang sudah dicapai saja sangat sulit.
Dana desa sepatutnya singkron dari adanya grand design ini, peranan seluruh pihak, baik pemerintah daerah, dewan, kalangan swasta di Sabang dapat dipakai sebagai penekanan dari adanya kepahaman bagi berbagai pihak di desa dalam kaitan pemanfaatan dana desa untuk anggaran pengembangan pariwisata. Tepat sasaran, berhasil guna dan layak secara hukum sebab dana desa sejatinya dana publik.
Padahal, untuk Pulau Sabang, pembangunan kawasan wisata umumnya memiliki nilai progresif, dana desa juga banyak dianggarkan khusus peningkatan fasilitas umum. Namun dana terkait jika dikelola demi pengembangan properti, taman, juga areal fasilitas kepariwisataan.
Berbagai pihak menyayangkan masih kurangnya orientasi dana desa di Sabang yang dapat membantu peningkatan nilai pelayanan publik dalam artian kepariwisataan. Contohnya juga dana-dana Pemda setempat yang membangun kawasan resort, kawasan center poin pusat pariwisata seperti Sumur Tiga (terbengkalai), Danau Aneuk Laot tamannya juga terbengkalai, bahkan di kawasan Danau Aneuk Laot terdapat pemanfaatan dana desa dalam bentuk fasilitas pariwisata berbentuk taman dan bangunan pelengkapnya sedang bermasalah sehingga tidak bisa dioperasikan apalagi sedang dalam penanganan Kejari Aceh.
Belum lagi beberapa kawasan lain yang beberapa fungsinya untuk penguatan kebutuhan pelayanan publik, fasilitas pendukung kepariwisataan juga sumber energi seperti air, listrik, bangunan sanitasi yang juga mengalami berbagai masalah dari mulai kajian kawasan, pembangunan, hingga pemanfaatan.
Jaboi misalnya, setelah dibangun Taman Pasi Jaboi dengan anggaran dana Pemko Sabang yang tidak sedikit itu, selanjutnya Desa Adat Jaboi diberikan kuasa mengelola fasilitas yang telah dibangun tersebut, namun kenyataannya, bangunan fisik juga kelengkapan yang menyertainya seperti mushalla, tempat wudhu, makam di situs Jaboi, MCK setempat hingga saat ini masih belum difungsikan maksimal, terlepas adanya dampak pandemi, siklus pengkajian pembangunan Jaboi seperti yang tampak saat ini menandai penyiapan fungsi-fungsi fisik bangunan pariwisata tersebut tidak berjalan semestinya.
Bangunan kepariwisataan Sabang semisal Danau Aneuk Laot, Sumur Tiga, Jaboi patut merasa cemburu dengan taman Love Sabang di kawasan jalur menuju Kota Sabang dari Pelabuhan Balohan, sebab taman Love Sabang tampak bersih, terurus dengan rapi sehingga mengundang pengunjung untuk mau memanfaatkannya. Sedangkan tiga kawasan yang dimaksud tersebut nyaris terbengkalai, ditumbuhi rumput meninggi dan tidak sedap dipandang mata.
Artinya, pembangunan fisik kawasan manapun di Pulau Sabang, hingga saat ini masih sangat riskan dari segi pengelolaan dan peruntukannya, pemungsiannya, perawatannya bahkan nilai tambah dari pemanfaatan lahan pariwisata yang sudah menggunakan dana publik begitu besarnya berakhir terbengkalai, tentu saja sangat merugikan bagi penyiapan Sabang sebagai zona pariwisata sebagai pilar utama pengembangan kawasannya.
Problematika pengembangan hasil pembangunan kawasan pariwisata terus menjadi masalah selama kajian perencanaan, pembangunan dan hingga sampai pemungsiannya tidak selaras hulu ke hilirnya, dampaknya adalah kerugian di segala bidang.
Karena itu, sektor kepariwisataan Sabang perlu terus mempertimbangkan nilai dan fungsi bahkan makna dari pembangunan fisik, sikap masyarakat yang telah tumbuh baik seiring keberpihakan sektor pariwisata di Aceh untuk Pulau Sabang tersebut telah menjadi diskursus yang berkelanjutan, tidak semata-mata menjadi warisan persoalan bagi penerusnya.
Wisata Sabang sebaiknya menuntaskan apa yang sudah dibangunnya, kendala-kendala pemungsian kawasan Sabang ke depan dapat diatasi, untuk itu, perlu sikap dan konsistensi semua pihak demi mewujudkan wisata berkelanjutan.
*Penulis merupakan peraih Anugerah Pariwisata Kota Banda Aceh Bidang Literasi 2018.
Tidak ada komentar