Iskandar; Strategi Kembangkan Destinasi Baru Krueng Daroy

Iskandar, S. Sos, M. Si narasumber Strategi Pengembangan Pariwisata, 

Hotel Rasamala, Senin (22/8/2022).

Banda Aceh - Mengisi Lokakarya dan Kegiatan Vocational Training bersama peserta Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) Skala Kawasan Setui - Krueng Daroy Banda Aceh, Iskandar, S. Sos, M. Si selaku narasumber memaparkan strategi mengembangkan destinasi pariwisata baru Krueng Daroy Setui, Senin (22/8/2022).

Iskandar sebagai pengisi materi pertemuan lokakarya yang diprakarsai Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) dihadapan 100-an lebih peserta dari unsur Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP) Skala Kawasan Setui-Krueng Daroy Kota Banda Aceh sebagai Tenaga Ahli Pariwisata berkesempatan menyampaikan berbagai poin strategi penting guna menjadi wacana bagi kehadiran destinasi baru Krueng Daroy ke depan.

Berlatar profil selain sebagai ASN di Pemerintahan Kota Banda Aceh yang saat ini ditugaskan sebagai Staf Ahli Walikota Banda Aceh Bidang Pemerintahan, Politik dan Hukum, Iskandar juga tercatat pernah menduduki jabatan strategis di pemerintahan antaranya; 

Kadis Pariwisata Banda Aceh, Asisten II, Kepala Bappeda Banda Aceh, Asisten I, Kepala Inspektorat Kota, Kepala Satpol PP, Camat Kuta Alam. Mantan Ketua Yayasan Politeknik Aceh, Ketua Prawita Genppari Aceh.

Di sesi kedua yang berlangsung pada siang hari, bertempat di Hotel Rasamala Banda Aceh, disampaikan bagaimana stategi yang penting untuk dikuasai terkait Program NSUP-Kotaku Tahun Anggaran 2022 Balai Pemukiman Wilayah Aceh dari bidang kepariwisataan.

Kekayaan Banda Aceh sebagai kawasan yang telah memiliki sumberdaya cukup lengkap selama ini penting untuk digunakan sebagai pemahaman potensi profil Banda Aceh dalam kawasan perkotaan yang sekaligus dijadikan Pusat Ibukota Propinsi Aceh.

Pengelolaan skala kawasan Krueng Daroy memang menjadi tanggung jawab utama Pemda dalam upaya melindungi, menciptakan kawasan yang dapat mendukung nilai asset juga sarana prasarana lainnya agar Banda Aceh dengan program yang sinergi Kepariwisataan di dalam kewenangan dan kewajiban pengelolaan fasilitas nantinya berhasil menjadi penambah PAD bagi kota.

Pemanfaatan yang juga memaksimalkan daya guna Krueng Daroy setelah dibangun mesti didukung oleh adanya peraturan/rambu tentang tatacara penggunaan, termasuk menentukan tarif restribusi, menjaga agar masa pakai asset menjadi berkelanjutan, hal ini sangat ditentukan kesamaan prinsip dalam tanggung jawab pengembangan dan pemeliharaannya oleh berbagai pihak selain pemerintah kota.

"Untuk menjadikan kawasan Krueng Daroy eksis sebagai destinasi baru pariwisata Banda Aceh, kita perlu paham bagaimana strategi pengembangan destinasi wisata yang tergolong baru tersebut, sehingga dengan kesepahaman yang dimiliki menyiasati perkembangan ke depan kawasan tersebut, Banda Aceh dapat dibangun lebih maju dan berkembang," papar Iskandar.

Sebelumnya, kawasan Krueng Daroy pada masa dulu pernah dilakukan Survei Sosial Ekonomi sebelum akhirnya diputuskan dibangun, seluas 800 hektar di kawasan tersebut dulunya merupakan kawasan kumuh yang ada di Banda Aceh, saat itu juga disurvei warga yang terimbas pembangunan dampak proyek pengembangan Krueng Daroy.

27,7 hektar kawasan ini yang antaranya termasuk Neusu Jaya, Neusue Aceh, Setui, Lamlagang dimaksudkan dengan adanya pembangunan Krung Daroy dapat terbebas dari daerah rawan kumuh, dilakukan penelaahan intensif agar bagaimana penataan kawasan, pernah juga disepakati agar ditata secara tematik namun kendala dana menyebabkan proyek yang menghabiskan anggaran sekitar 7-11,4 Milyar yang dibuat bertahap.

Kendala Pengembangan Pariwisata

Secara umum, diketahui kendala yang dihadapi untuk mengembangkan kepariwisataan di suatu kawasan cikal bakal lokasi pariwisata adalah dari segi struktural maupun kultural, kendala struktural berupa peraturan, perizinan, penganggaran dan tentu juga perbankan dalam menyokong tumbuhnya ekonomi kepariwisataan wilayah.

Sedangkan kendala kultural, umumnya di Propinsi Aceh termasuk Banda Aceh jika ingin mengembangkan tempat wisata yang sering dihadapi adalah tantangan dari segi kenyamanan, kebersihan, keindahan, juga kejujuran dan bahkan keramahtamahan dari segenap unsur pengelola kawasan wisata.

"Banda Aceh sampai saat ini belum memiliki Rencana Induk Pariwisata Kota (RIPK), termasuklah apa yang disebut Green Desain dalam pandangan umum guna dipakai sebagai kesepakatan pembangunan berkelanjutan yang harus dipegang oleh siapapun pimpinan daerah kini dan di masa depan, sebab itulah, perlu semua stackholder dapat duduk menyiapkan hal demikian," urai Iskandar.

Selain green desain juga RIPK, diperlukan sosialisasi yang simultan dan tepat sasaran agar nantinya kawasan wisata yang hendak diaktifkan dapat berjalan sesuai suasana penerapan syariat Islam sebagai kerangka ke-istimewaan Aceh itu sendiri sebagai propinsi di Indonesia yang satu-satunya menerapkannya.

"Tujuannya agar asset wisata yang dibangun jangan malah menjadi penyebab ketidaknyaman masyarakat tempat pariwisata itu berdiri, menghindari persinggungan pula dengan penerapan syariat Islam, meskipun sebenarnya lokasi atau bangunan wisata itu hanyalah benda mati semata, namun orangnya, warga atau wisatawan-nyalah yang mestinya menjadi telaah utama, sebab potensi pelanggaran ada di unsur itu," jelasnya.

Disinggung terkait kendala-kendala pengembangan pariwisata kawasan Banda Aceh oleh salah satu peserta dari unsur Keuchik Sukaramai, Iskandar menjelaskan bahwa selama ini pemahaman nilai utama dari adanya pembangunan kepariwisataan di Banda Aceh juga penting diketahui sebagai pemikiran optimistis.

Pariwisata dan sektor penyokong dari tumbuh kembangnya ekonomi kreatif yang mengikuti program kepariwisataan di Banda Aceh telah menyumbangkan hampir 40% Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun nilai input dari pajak dan restribusi hotel, kuliner dan lainnya itu tidak dapat dipandang sebelah mata, sehingga perlu kesadaran bagi pemimpin daerah khususnya Banda Aceh agar pengembangan kepariwisataan dapat dioptimalkan serta dipertahankan jika telah cukup baik penganggarannya.

Menjawab tandangan dan kendala yang ditanyakan peserta kegiatan lokakarya, Iskandar menjelaskan terkait adanya kendala meluas terpaksa dihadapi oleh pengusaha wisata akibat pengunjung mengalami kesulitan transaksi keuangan, sepatutnya dipikirkan cara agar kendala tersebut tidak berimbas menurunkan jumlah pengunjung/wisatawan Aceh domestik apalagi dari luar negeri (turis asing).

Strategi Promosi Wisata

"Pariwisata itu tidak dapat berdiri sendiri, diperlukan strategi komunikasi dan kolaborasi, peran pihak-pihak pemerintah lokal bersinergi dengan komunitas (pokdarwis), pebisnis, media, akademisi sebagai strategi yang dapat disebut sinergi pentahelix" ungkap Iskandar.

Untuk mengupayakan komuniasi yang strategis dalam membangun pariwisata dapat dipakai branding & tagline, tujuannya demi memudahkan ingatan para peminat pariwisata nantinya, sebagai simbolik penanda kawasan wisata yang dituju.

Konteks wisata yang disediakan di kawasan sangat penting dalam pengenalannya kepada kandidat wisatawan, karenanya perlunya media dalam mendukung branding dan tagline, figure menjadi bahan publish dan promosi kepariwisataan.

Strategi promosi melalui sosial media, sebagai media yang para penggunanya bisa mudah berpartisipasi berbagi dan menciptakan isi meliputi blog, aplikasi medsos seperti Youtube dsb, atau media sosial yang mendukung interaksi sosial dan medial sosial menggunakan teknologi komunikasi.

"Banda Aceh juga dapat dikenal sebagai kawasan wisata seni budaya; kota yang merupakan ibu kota provinsi Aceh adalah tempat berkumpulnya beragam kebudayaan suku yang ada di Aceh" lanjutnya.

Beragam seni budaya selalu ditampilkan pada berbagai event dengan bertemakan seni & budaya. Catatannya sebagai terobosan agar wisata Banda Aceh ke depan jauh lebih berhasil wisata alam bahari, perlunya promosi sebagai bagian penting.






Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.