Menangkap Kegelisahan Din Saja Lewat Event Gelar Puisi Aceh

Din Saja saat baca puisi even TSBA, Banda Aceh, 2021

Penulis: Muhammad, M. Pd

Banda Aceh - Selain berbicara dengan topik utama Mau Dibawa ke Mana Aceh Ini (sebagai) refleksi terkait 17 tahun Damai Aceh, Din Saja sebagai penyair nasional kelahiran Banda Aceh saat gelar pertunjukan baca dan diskusi puisi karyanya tadi malam (Senin, 15/8/2022) di kawasan Simpang BPKP Lambhuk, Ulee Kareng Banda Aceh mengetengahkan juga kegelisahan yang ia rasakan dalam dimensi sebagai sosok rakyat Aceh, Selasa (16/8/2022).

Din Saja lelaki paruh baya yang baru menjadi kakek dari anaknya yang pertama Ahmad Maulana Sirath mengaku sangat haru dan bangga atas terjalinnya silaturrahmi antar tokoh; seniman, politikus, akademisi, psikolog juga lainnya melalui gelar acara yang diprakarsai Ketua Prawita Ganppari Aceh, Iskandar, peristiwa diskusi puisi yang diselingi baca puisi di Lambhuk lebih tepat menyebutnya demikian dibanding sebaliknya, berbagai puisi tampak bersimpul-rumus pemikiran soal nasib Aceh.

Harapan yang muluk maupun original (subjektif belaka) turut disampaikan pembaca puisi Din Saja serta oleh peserta undangan yang diberikan kesempatan membawakan puisi se-tema maupun ungkapan sebagai hadirin aktif.

Selain sekedar menikmati suguhan baca puisi dan tampilan di panggung sederhana, Din Saja terlihat sangat terbuka 'membiarkan' tamu undangan membaca puisi yang telah difotokopi hampir ke bentuk stensilan, kendati ada juga yang berusaha menuangkan ilustrasi juga wejangan guna menjawab topik acara diskusi/baca puisi Mau Dibawa ke Mana Aceh Ini.

Sikap dan pertautan pandangan para tokoh dalam even tersebut secara umum membawa kesamaan dalam ruang proteksi dan tawaran solutif, bahkan ada yang semata mengarah kepada kembalikan saja Roh/Ruh Aceh itu kepada Tuhan sebagaimana ungkapan Bahtiar yang hadir bersama istrinya Nurjanah Nitura salah satu yang kerab menyokong nyata event Din Saja selama ini, selaku tokoh intelektual, Bahtiar berencana melanjutkan event dalam topik "Jiwa" dalam waktu dekat.

Jika pun tidak dianggap paling rutin mengetengahkan puisi-puisinya ke publik sastra juga kalangan lebih luas, Din Saja termasuk penyair yang konsisten mengambil topik Aceh dalam isu-isu sosial-politik-ekonomi hampir seluruh era selama ia aktif menulis, Din Saja juga memiliki pementasan teater yang diskenario-nya dengan garapan di daerah hingga nasional, sebagian besar kiprahnya ia fokus pada sastra puisi.

Kegelisahan; Antara Subjektif dan Peran Aktif Seniman Din Saja

Sulit bagi penyair membedakan mana tuturan yang mempribadi, mana pula ungkapan pikirannya, sebab semua itu suara batin yang dalam, namun akunya, Din Saja dalam panggung kerap berhasil mengunci arah masyarakat pembaca karyanya bahwa ia dalam sosok puisi adalah pikiran, sedangkan ia dalam sosok manusia adalah kegelisahan.

Jika ditelaah dengan reaksi pada peristiwa kebudayaan yang cukup tajam berlangsung khususnya di Aceh, Din Saja adalah seniman pemain tunggal, maksudnya, ia lebih sering bekerja sendiri, rekan-rekannya umumnya semata mensupport, sulit baginya bertahan lama dalam komunitas, mungkin ini terlalu dini disimpulkan dalam tulisan ini, namun kenyataannya, Din Saja jarang sekali duduk 'rapat' membahas kebijakan kesenian maupun kebudayaan bersama komunitas, lembaga, sanggar atau apalagi Dewan Kesenian yang notabene saat ini mati suri.

Nama Din Saja dikenal luas lewat kiprah dan kerja berkesenian di Padang, Palembang, Jakarta, Medan hingga Aceh, beberapa pementasan teater telah ia ikut serta antaranya; Oedipus Rex, Malin Kundang, Isa AS, Malam Terakhir, Bantal, karya puisinya juga berbiak luas disejajarkan dengan penyair nasional lainnya, tercatat menulis didokumentasi cetak; Sang Penyair (editor Isbedy Setiawan ZS, 1985), KSA 3 (TBA/KSA, 1990), empat antologi karya bersama turut diisi karya Din Saja; Nafas Tanah Rencong (DKA), Banda Aceh (DCP Production), Lambaian (Deptrans Aceh) dan Sosok (LSA), Setengah Abad Indonesia Merdeka (TB Solo).

Karyanya berjudul Sirath (LSA) menjadi antologi puisi perdana, dunia sastra nasional juga mencatat karya antologi Din Saja berjudul Hanya Melihat Hanya Mengagumi berhasil ditetapkan sebagai Pemenang Terpilih bersama empat buku karya penyair Indonesia prakarsa Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017.

Kegelisahan menjadi perjalanan antar-waktu Din Saja dalam berbagai judul puisi miliknya, sebaran puisi-puisi berkonotasi -kisah keluh kesah-, proteksi dan intuitif penyair mengetengahkan cekatnya nuansa ketidakberuntungan, suara penolakan, sikap ruang saran kepada pembaca yang ia 'tuju' pada puisi membawa pula seri-seri tanpa akhir dari perjalanan panjang karya puisi Din Saja.

Cukilan puisi bernuansa gelisah Din Saja misalnya kentara dalam penggalan bait dari judul puisi Catatan Kesepuluh,

-seseorang membayangkan,/sekiranya semua makhluk yang ada dipermukaan bumi/itu ditiup oleh angin yang membadai/tentu mereka akan terbang melayang/ke sana ke mari tanpa arah tujuan/

dunia itu kiranya singkat,/sesingkat usia makhluk yang hidup/di atas permukaannya.

mengapa banyak yang berlomba-lomba/mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya,/sehingga lupa untuk mau berbagi/

mengapa banyak pula yang merasa bangga/jadi penguasa, sementara tidak pernah mau bersikap/adil dan belaku jujur/

mengapa banyak juga yang bangga jadi sarjana--ahli agama--jadi seniman/dunia ini ternyata hina,/sehina makhluk manusia yang lupa untuk mengabdi/pada Sang Penciptanya/

Sepenggal kutipan tersebut mewakili gelisah sosok Din Saja, terkait arah, tujuan, peranan, lewat penggunaan diksi-diksi yang mudah dipahami, ia mengetengahkan pentingnya untuk berefleksi, mengungkit juga menggugat diri agar mau berpikir tentang apa dan bagaimana segala sesuatu itu terjadi, selanjutnya, lewat karyanya, pembaca diajak ikut melaksanakan 'berpikir/berefleksi' meski akunya semata-mata ajakan itu sebuah amanat seniman kepada khalayak, tidak sebagai pengarahan apalagi perintah.

Jelas, Din Saja adalah rakyat Aceh yang tanpa kenal ampun turut merasakan konflik Aceh dan bencana Tsunami dimula gempa bumi selanjutnya pembangunan pasca konflik manusia dan alam itu Din Saja terus 'bersuara gelisah' menyatakan penolakan dan mengetengahkan 'berpikir' terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan dan para kroni.

Meski tidak dikenal sebagai penulis sufistik, paham-paham religi dalam sastra puisi Din Saja tampaknya lebih meruang dengan ungkapan merasa diri fakir, miskin, hina dan kerap ia mengaku 'peminta-minta', rasa rendah dan letak terbawah dalam strata sosial, pastinya hal ini sebagai nalar intuitif sosok seniman yang ramah dan suka berkelakar jika telah kenal lebih intens.

Subjektif seniman Din Saja terasa reflektif akibat pertanyaan-pertanyaan dalam sastra puisi miliknya sendiri senantiasa ia tujukan terdahulu kepada dirinya, namun, ungkapan kegelisahan yang mengakar pada sikapnya menghadapi era dan masa juga zaman berjalan ini bagi setiap pembaca puisinya perlu ditelaah secara komparatif.

Tulisan singkat berkait kegelisahan yang dapat ditangkap pada sosok dan karya Din Saja berangsur mendapatkan narasi tanpa putus akibat keaktifan sastrawan tersebut yang kerap menggugat kekuasaan maupun masyarakat agar tidak berhenti membawa pikiran dan menghidupkan diskursus demikian pentingnya puisi dibacakan.

Tercatat hampir setiap tahun minimal sekali sepanjang peristiwa konflik batin yang ditangkapnya selama 12 bulan, Din Saja menggelar event baca puisi, baik atas prakarsa kerabat personal, maupun lembaga swasta atau juga pemerintah.

Ia juga membuktikan konsistensi gelar event sebagai gelisah tak pernah memberikan apa-apa tanpa disuarakan ke hadapan publik, ia juga tampaknya sulit memendam 'kegelisahan abad', peran kepenyairan adalah berkata dan membawa api, entah untuk menerangkan, entah agar segera padam dan tidak sampai membakar dirinya melalui berkata-kata dan menarik lengan sejawat. Wallahu alam.

*Penulis: pelaku seni budaya juga pernah akademisi, berdomisili di Aceh.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.