Telaga Art Wadahi Dialog Terbuka Jelang Pementasan Monolog 1/3
Banda Aceh - Menjelang pementasan teater yang akan dilaksanakan pada awal Oktober mendatang, Telaga Art mewadahi dialog terkait Perempuan dalam Panggung "Monolog 1/3" naskah "Before Break Fast" bersama beragam komunitas, Kamis (29/9/2022).
Selain membahas proses garapan pementasan "Monolog 1/3" dari berbagai sisi; naskah, sutradara dari pementasan maupun pimpinan Telaga Art sebagai sesi sharing, tentang landasan awal diangkatnya tema perempuan dalam pementasan teater Aceh, kehadiran para pihak menyambut pementasan tersebut turut menjadi refleksi yang relevan.
Dihadiri dengan antusias dari para pekerja seni bidang teater, dalam diskusi terbuka yang disponsori Teater Rongsokan, Telaga Art, Flower Aceh juga Women's Democracy Network, pemaparan para narasumber Diskusi Perempuan dalam Panggung Monolog 1/3 "Before Break Fast" berlangsung mulai pukul 18.30 s.d. 22.00 WIB di Cafe Ivory, Banda Aceh.
Salah satu pihak yang hadir, Hj. Yusniar, S. P, M. Si sebagai Ketua KPPG Aceh menyambut baik dengan animo tinggi atas dipilihnya isu perempuan dalam panggung teater, demikan juga Caroline J. Monteiro selaku Direktur Arts For Women menyambut antusias dan memberikan masukan agar ke depan isu perempuan kian sering diangkat ke dalam pertunjukan seni di Aceh juga hadir perwakilan mahasiswa jurusan PMI (Pengembangan Masyarakat Islam) Riva Nur A'la kampus UIN Ar-Raniry.
Flower Aceh diwakili Staf Program Puteri Handika, menjadi kesempatan buatnya untuk lebih berdekatan dengan dunia kesenian khususnya teater, menunggu dengan antusias pementasan Before Break Fast, naskah luar yang digunakan Telaga Art dengan upaya penguatan nilai-nilai dan keberpihakan kepada perempuan.
"Telaga Art baru dibentuk atas dasar inisiatif rekan-rekan seniman teater agar dibentuk sebuah ruang bagi para teater di Aceh, berbagai program teater, banyak lembaga institusi yang mencoba menginisiasi bagi kalangan teater Aceh, sehingga lembaga ini kita hadirkan," T. Zulfajri, M. Sn.
Telaga Art menjadi wujud nyata dukungan untuk teater di Aceh, banyaknya program tersebut disadari berbagai kalangan memiliki kegelisahan, ada berbagai kebijakan, penganggaran menjadi tantangan kebebasan berkarya teater.
Melahirkan sebuah karya bersumber dari inspirasi yang dapat mewadahi isu-isu perempuan, naskah panggung Monolog 1/3 disikapi secara relevan untuk menyokong pertunjukan yang layak berdasarkan sebuah konsep dimainkan oleh satu orang aktor, mempertunjukkan karyanya dalam bentuk monolog.
"Pertunjukan Monolog 1/3 kita menawarkan program pertunjukan yang berbeda dengan yang selama ini hadir di Aceh, satu naskah dimainkan oleh 3 orang aktor, juga disutradarai 3 sutradara", papar T. Zulfajri
Memberi peluang kepada sutradara bagaimana mereka mempersembahkan gagasan, konsep pertunjukan mereka disaksikan oleh satu pertunjukan sekalian, sehingga penonton dapat memperoleh perbandingan dari ketiga-tiganya.
Peserta, panitia dan narasumber Dialog Terbuka
Jelang Pementasan Monolog 1/3, Kamis (29/9/2022).
Mengapa Naskah Luar Juga Berbagai Sisi Monolog 1/3
Caroline J Monteiro selaku narasumber yang hadir via online menyorot sisi naskah pertunjukan. Monolog 1/3 buatnya suatu pilihan tertentu, meskipun sebenarnya masih banyak sekali naskah lain terkait perempuan, sepertinya "Before Break Fast" juga naskah baru yang masuk dalam kultur di Aceh.
Penulis/aktivis Flora Aceh, perspektif gender dalam dunia pertunjukan teater, sejarah sosok perempuan Aceh juga dulu dan kini menunjukkan inspirasi sosok perempuan.
Seni menjadi pesan dan bagian dari perubahan, dengan mengangkat dalam seni pertunjukan teater yang tokohnya perempuan, sehingga masyarakat dapat mengambil makna yang dalam dari pertunjukan.
Hj. Yuniar KPPG Aceh menyampaikan apresiasi kepada kalangan seni terkait upaya menggali berbagai isu, pendidikan, sejarah dan berbagai hal untuk membangun dan membangkitkan kesadaran masyarakat melalui pertunjukan kesenian, terutama teater Monolog 1/3.
"Dalam politik, sikap terhadap perempuan juga semestinya menjadi bagian penting untuk mendapatkan ruang di hadapan publik, melalui pertunjukan seni seperti teater yang juga mengangkat karakter perempuan dapat menjadi ruang penyampaian dengan pendekatan seni yang sifatnya lebih halus dan bersahaja" ungkap Yuniar.
Tokoh perempuan dari partai Golkar Aceh ini juga mengharapkan dorongan dari institusi pemerintah untuk seni dapat lebih meluas dan memberikan kontribusi yang sinergi utamanya sebagai support bagi seni sebagai bagian menyampaikan pesan-pesan penting perubahan terutama terkait nasib perempuan Aceh.
Manajer Program Telaga Art, Mirja Irwansyah, S. Sn mengungkapkan bahwa diskusi jelang pementasan dimaksudkan juga sebagai wadah silaturahmi dengan berbagai kalangan.
"Melalui pertemuan lintas komunitas dan beragam latar, beberapa event seni sudah dicoba membangun beragam koneksi, dengan kehadiran beberapa komunitas seperti yang telah hadir seperti KPPG, PMI, Flower Aceh membuat kemungkinan pengembangan karya seni teater dapat lebih menjangkau dampak peranan seni teater di Aceh' papar Mirza.
Untuk membuat kegiatan sebagaimana peristiwa berteater memang diperlukan berbagai elemen, pementasan Telaga Art dalam kaitannya dengan naskah yang juga dapat lebih bersentuhan dengan realitas masyarakat Aceh saat ini, sehingga memilih program pementasan Monolog 1/3 dilakukan.
Tidak ada komentar