Dana Rp13 Miliar Signature Bonus Milik Aceh Masih Tertahan di Kemenkeu

Suasana rapat yang membahas pembagian dana signature bonus di kantor BPMA, Jumat (24/1/2025). (Foto: bpma.go.id).

Belum adanya regulasi terkait mekanisme penyaluran dana jadi penyebabnya.

Banda Aceh ‒ Dana signature bonus senilai Rp13 miliar, yang menjadi hak Pemerintah Aceh, hingga kini masih tertahan di Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI). Dana tersebut merupakan bagian dari penerimaan negara atas lelang wilayah kerja minyak dan gas (migas), yang seharusnya dibagi dua, masing-masing 50 persen untuk Pemerintah Pusat dan 50 persen untuk Aceh. Namun, sejak dua tahun terakhir, dana itu belum juga disetorkan ke kas daerah.

Plt Deputi Keuangan dan Monetisasi Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Muhammad Akbarul Syah Alam, mengungkapkan bahwa keterlambatan penyaluran dana tersebut disebabkan belum diterbitkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengatur mekanisme pencairan.

Baca Juga:
Akhir Cerita Mengenai Kepala BPMA

“Total signature bonus yang telah diserahkan kontraktor migas senilai Rp24,8 miliar atau setara USD 1,6 juta. Nah, USD 800 ribu atau sekitar Rp13 miliar merupakan hak Aceh,” kata Akbar dalam keterangan yang diterima koranaceh.net, Kamis,30 Januari 2025.

Sebagai informasi, signature bonus adalah pembayaran yang wajib disetor oleh kontraktor pemenang lelang wilayah kerja migas kepada pemerintah. Dana ini disimpan dalam rekening Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi.

Beberapa wilayah kerja migas di Aceh yang telah ditandatangani sejak 2015, di antaranya:

    • Wilayah Kerja B (2021)
    • Wilayah Kerja ONWA dan OSWA (2023)
    • Wilayah Kerja Bireun-Sigli (2023)

Menurut Akbar, para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) telah menyetorkan dana signature bonus tepat waktu ke rekening PNBP. Namun, saat dana tersebut masuk, belum ada aturan yang jelas mengenai mekanisme pembagian 50 persen untuk Aceh.

“Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 Pasal 70 disebutkan bahwa dana signature bonus wajib dibagihasilkan kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat masing-masing 50 persen,” jelasnya.

Sejak 2021, BPMA telah mengusulkan pembahasan terkait Peraturan Pemerintah yang mengatur mekanisme pencairan bagian untuk Aceh. Baru pada 2022, terbit PP Nomor 26 Tahun 2022, disusul Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2023, yang secara hukum telah mengatur mekanisme pencairan.

BPMA memastikan terus mengawal proses pencairan dana tersebut agar segera masuk ke rekening Pemerintah Aceh. Akbar juga menambahkan bahwa BPMA turut membantu pemerintah daerah dalam menyiapkan rekening penerimaan valuta asing (valas) sebagai persyaratan administratif pencairan dana tersebut.

Baca Juga:
SEMMI Wilayah Aceh Desak Hentikan Kerjasama Pengelolaan Migas Blok B Aceh

Di sisi lain, Dinas ESDM Aceh juga telah mengambil langkah dengan menyurati Kementerian Keuangan pada 9 Agustus 2023, meminta audiensi dengan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) terkait keterlambatan pencairan dana ini. Namun hingga saat ini, permintaan tersebut belum mendapat tanggapan dari pemerintah pusat.

“Pemerintah Aceh sendiri sudah pernah bersurat ke Kementerian Keuangan pada tanggal 9 Agustus 2023 untuk meminta audiensi kepada Direktorat Jenderal Anggaran atas dana yang belum dibagihasilkan tersebut. Namun belum mendapatkan tanggapan,” ujar Dian Budi Dharma, perwakilan Dinas ESDM Aceh.

Dana signature bonus ini menjadi bagian penting dalam pendapatan daerah Aceh. Sesuai ketentuan, dana ini dapat digunakan untuk kepentingan pembangunan, khususnya di sektor energi dan sumber daya mineral, serta program lain yang mendukung kesejahteraan masyarakat.

Dengan regulasi yang telah diterbitkan, BPMA dan Pemerintah Aceh berharap pencairan dana Rp13 miliar ini bisa segera direalisasikan. Mereka juga mendesak Kementerian Keuangan untuk mempercepat proses pencairan, agar hak Aceh sesuai dengan regulasi yang berlaku dapat segera diterima.[]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.