Dugaan Korupsi dan Blending Pertamax-Pertalite, Apa Dampaknya bagi Konsumen dan Negara?
![]() |
Ilustrasi. (Foto: Dok. Koran Aceh). |
Celios mencatat kerugian konsumen bisa mencapai Rp 17,4 triliun pada 2023, sementara total kerugian negara diperkirakan menembus Rp 968,5 triliun. Kasus ini tengah diselidiki dengan tujuh tersangka sudah ditetapkan.
Jakarta ‒ Kasus dugaan korupsi di tubuh Pertamina kembali menjadi sorotan. Kali ini, Kejaksaan Agung mengungkap modus blending atau pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) dengan mencampur Pertamax (RON 92) dengan Pertalite (RON 90) atau bahkan BBM dengan nilai oktan lebih rendah.
Praktik ini diduga dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga, anak usaha Pertamina yang menangani distribusi BBM di Indonesia. Meski telah dibantah oleh pihak Pertamina. Namun, Kejaksaan Agung menegaskan bahwa mereka telah menemukan indikasi kuat adanya praktik blending yang merugikan masyarakat dan negara.
Baca Juga:
IPK Indonesia Naik, tapi ICW Menilai Pemberantasan Korupsi Masih Berjalan
Mundur
Mengapa RON BBM Itu Penting?
Dalam dunia otomotif, RON atau Research Octane Number merupakan indikator utama kualitas bahan bakar. RON menunjukkan seberapa besar tekanan yang bisa ditahan oleh bahan bakar sebelum terbakar secara spontan di dalam mesin kendaraan.
Semakin tinggi angka RON, semakin baik bahan bakar dalam menahan knocking atau ketukan yang dapat merusak mesin. Knocking terjadi ketika bahan bakar terbakar lebih awal dari seharusnya akibat tekanan tinggi dalam ruang bakar.
![]() |
Ilustrasi Pertamax-Pertalite. (Foto: Dok. Koran Aceh). |
Jika kendaraan menggunakan bahan bakar dengan RON yang lebih rendah dari rekomendasi pabrikan, maka performa mesin bisa menurun, konsumsi bahan bakar menjadi boros, dan emisi gas buang meningkat.
Di Indonesia, BBM dikategorikan berdasarkan nilai oktannya, yaitu:
- Pertalite (RON 90): Digunakan untuk kendaraan dengan rasio kompresi sedang.
- Pertamax (RON 92): Cocok untuk kendaraan dengan teknologi injeksi elektronik dan rasio kompresi lebih tinggi.
- Pertamax Turbo (RON 98) dan BBM setara seperti Shell V-Power: Diperuntukkan bagi kendaraan berperforma tinggi.
Jika dugaan blending Pertamax dengan Pertalite benar terjadi, maka konsumen yang mengisi bahan bakar dengan harapan mendapatkan kualitas RON 92 bisa saja menerima BBM dengan kualitas lebih rendah.
Dampaknya, selain penurunan performa kendaraan, mereka juga bisa mengalami kerugian finansial karena membayar lebih mahal untuk bahan bakar yang tidak sesuai standar.
Triliunan Rupiah Hilang, Rugikan Konsumen dan Negara
Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina semakin menguak dampak besar yang ditimbulkannya, tidak hanya terhadap negara tetapi juga terhadap masyarakat sebagai konsumen.
Melansir metrotvnews.com, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyoroti besarnya kerugian yang dialami masyarakat akibat praktik ini.
"Kalau kita hitung per hari, ada sekitar Rp 47,6 miliar kerugian konsumen yang diakibatkan adanya pengoplosan ataupun blending dari RON 90 yang dijual dengan harga Pertamax," kata Huda dalam konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, Jumat, 28 Februari 2025, yang dikutip koranaceh.net.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Menyampaikan Pidato Perdana: Fokus pada Pemberantasan
Korupsi dan Kemiskinan
Menurut perhitungan Celios, total kerugian yang dialami konsumen akibat praktik pengoplosan BBM ini bisa mencapai Rp 17,4 triliun pada tahun 2023. Angka ini belum termasuk dampak yang lebih luas, seperti kerusakan mesin kendaraan akibat penggunaan BBM yang tidak sesuai spesifikasi.
"Bahwa yang rugi itu bukan hanya negara, tapi yang merasakan kerugian yang lebih dalam adalah dari sisi konsumen," ujar Huda.
Selain itu, dampak ekonomi dari praktik ini juga cukup signifikan. Celios, memperkirakan kerugian akibat BBM oplosan ini telah menghilangkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 13,4 triliun.
Sementara itu, Kejaksaan Agung merilis angka kerugian negara akibat dugaan korupsi di Pertamina. Pada tahun 2023 saja, negara diperkirakan merugi hingga Rp 193,7 triliun. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyebut angka tersebut masih bisa bertambah.
"Kemarin yang sudah disampaikan dirilis itu Rp 193,7 triliun, itu tahun 2023. Makanya, kita sampaikan, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih," ujar Harli di Kejaksaan Agung, Jakarta, pada Rabu, 26 Februari 2025 lalu, yang disadur dari kompas.com.
Baca Juga:
NKRI Harga Mati di Tengah Krisis Lingkungan dan Korupsi
Jika dihitung secara kasar dengan asumsi kerugian yang sama tiap tahun sejak 2018, maka total kerugian negara bisa mencapai Rp 968,5 triliun dalam lima tahun terakhir. Namun, Harli menegaskan kalau angka pasti masih harus dihitung lebih lanjut dengan melibatkan ahli keuangan.
Rincian kerugian negara akibat dugaan korupsi ini pada tahun 2023 mencakup beberapa komponen utama, yakni:
- Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri – Rp 35 triliun
- Kerugian impor minyak mentah lewat broker – Rp 2,7 triliun
- Kerugian impor BBM lewat broker – Rp 9 triliun
- Kerugian pemberian kompensasi – Rp 126 triliun
- Kerugian pemberian subsidi – Rp 21 triliun
Kejaksaan Agung juga menegaskan kualitas BBM yang lebih rendah dari spesifikasi seharusnya turut berkontribusi pada besarnya kerugian negara.
Konsumen yang membayar lebih untuk BBM dengan spesifikasi lebih tinggi, tetapi mendapatkan kualitas lebih rendah, turut memperbesar angka kerugian dalam skandal ini.
Sejauh ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini. Empat di antaranya merupakan petinggi anak usaha atau subholding Pertamina, yaitu:
- Riva Siahaan (RS) – Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
- Yoki Firnanda (YF) – Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
- Sani Dinar Saifuddin (SDS) – Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
- Agus Purwono (AP) – VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
Selain itu, tiga tersangka lainnya adalah broker yang diduga terlibat dalam praktik korupsi ini, yaitu:
- MKAR – Beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa
- DW – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim
- GRJ – Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
Penyelidikan kasus ini masih terus berjalan, dengan kemungkinan adanya tersangka baru maupun tambahan kerugian yang lebih besar. Kejaksaan Agung berjanji bakal terus mendalami aliran dana dalam kasus ini guna memastikan semua pihak yang bertanggung jawab bisa dibawa ke pengadilan.[]
Tidak ada komentar