Seminar Nasional di USK Sorot RUU KUHAP, Bahas Potensi Konflik Penegak Hukum dan Pelanggaran HAM

Pusat Riset Ilmu Kepolisian USK menggelar seminar nasional membedah RUU KUHAP, menyoroti potensi tumpang tindih kewenangan hingga ancaman terhadap hak warga. (Foto: Ist).
Pusat Riset Ilmu Kepolisian USK menggelar seminar nasional membedah RUU KUHAP, menyoroti potensi tumpang tindih kewenangan hingga ancaman terhadap hak warga. (Foto: Ist).

Seminar USK soal RUU KUHAP bahas potensi konflik antar penegak hukum dan risiko pelanggaran HAM jika tak dirancang partisipatif dan transparan.

koranaceh.net Pusat Riset Ilmu Kepolisian Universitas Syiah Kuala (USK) menyelenggarakan Seminar Nasional bertema “Rancangan Undang-undang KUHAP yang Partisipatif, Kolaboratif, dan Transparan dalam Mewujudkan Hukum yang Berkeadilan” di Aula Moot Court Fakultas Hukum USK, pada Kamis, 17 April 2025.

Kegiatan ini diadakan sebagai bentuk respons akademik terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang disiapkan menyusul pengesahan KUHP baru melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023.

RUU KUHAP yang nantinya menjadi dasar hukum acara pidana nasional per 1 Januari 2026 ini dinilai menyimpan berbagai peluang reformasi hukum, tetapi juga memunculkan sederet persoalan mendasar.

Seminar menghadirkan empat narasumber kunci, yakni mantan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, Guru Besar FH USK Prof. Dr. Rizanizarli, akademisi FH Universitas Sumatera Utara Dr. Alpi Sahari, dan Sekretaris DPC Peradi Aceh Dr. Syahrul Rizal.

Sebanyak 100 peserta turut hadir dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, mahasiswa, hingga tokoh masyarakat.

Baca Juga :
Baleg dan Seluruh Fraksi DPR-RI Sepakati 41 RUU Masuk Prolegnas Prioritas 2025

Laode M. Syarif dalam pemaparannya menyebutkan bahwa RUU KUHAP saat ini membuka dua jalan yang berlawanan: peluang untuk modernisasi sistem hukum acara pidana atau justru ancaman terhadap perlindungan warga negara.

“Peluang lainnya adalah menyempurnakan mekanisme check and balance. Namun, ancamannya adalah aparat penegak hukum (APH), baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim, enggan untuk diawasi,” ungkap Laode.

Ia menilai kecenderungan keberpihakan terhadap crime control model masih kuat, sementara prinsip due process of law belum mendapat tempat proporsional. Kekhawatiran lain muncul dari ketentuan yang memungkinkan penyidik memperpanjang masa penahanan dari 20 hari menjadi 40 hari, serta membuka ruang penyidikan tanpa pemberitahuan ke penuntut umum.

Laode mengingatkan bahwa, “Jika kita tidak hati-hati, revisi ini bisa menjadi instrumen legal untuk kriminalisasi, intimidasi, dan pembungkaman suara publik. Negara hukum harus dibangun di atas prinsip transparansi dan akuntabilitas, bukan ketakutan.”

Pakar hukum dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Alpi Sahari, turut mengkritisi konsep dominus litis yang selama ini dimaknai sebagai pemisahan kewenangan secara fungsional antara kejaksaan dan kepolisian. Menurutnya, hal itu justru menyimpang dari semangat sistem peradilan pidana terpadu.

“Dominus litis penuntut umum yang dimaknai sebagai pemisahan kewenangan (diferensiasi fungsional) tidak selaras dengan cita-cita hukum nasional,” tegas Alpi, seraya mengingatkan bahwa hal itu bisa membawa Indonesia mundur ke era kolonial, merujuk pada Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang sudah ditinggalkan sejak 1981.

Senada dengan itu, Prof. Dr. Rizanizarli menyoroti pentingnya pembatasan kekuasaan lembaga penegak hukum sebagai upaya menghindari dominasi dan potensi penyalahgunaan kewenangan. “Hal ini dikhawatirkan jika kekuasaan menumpuk pada satu lembaga rentan untuk disalahgunakan. Pembagian kekuasaan ini diharapkan terdapat mekanisme kontrol (check and balances),” ujarnya.

Sementara itu, Dr. Syahrul Rizal dari Peradi Aceh menyoroti ketentuan soal advokat dalam RUU KUHAP yang menyebut tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana jika bertindak dengan itikad baik. Namun, ketidakjelasan definisi tersebut berpotensi menjadi pasal karet yang membahayakan kebebasan profesi advokat.

Kritik juga mengemuka dari peserta seminar. Seorang peserta dari LSM lokal menyuarakan pentingnya uji publik yang luas dan inklusif. “RUU ini bukan hanya urusan para ahli di Jakarta. Kami yang di daerah juga punya hak untuk didengar,” ujarnya.

Peserta lain mempertanyakan harmonisasi pandangan tentang kewenangan kejaksaan sebagai dominus litis, yang dinilai tidak sejalan dengan sejumlah pandangan pakar dalam seminar tersebut.

Baca Juga :
RUU Penyiaran Dinilai Penting untuk Mengisi Kekosongan Hukum, Komisi I DPR Pastikan Tak Ganggu Kebebasan Pers

Isu krusial lain yang dibahas antara lain pelimpahan laporan ke kejaksaan jika dalam 14 hari tidak direspons kepolisian, serta diperbolehkannya penangkapan lebih dari satu hari tanpa batas waktu yang tegas.

Seluruh narasumber sepakat, aspek-aspek tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan ketegangan antara lembaga penegak hukum, khususnya Polri dan Kejaksaan.

Pusat Riset Ilmu Kepolisian USK menegaskan, RUU KUHAP tidak bisa hanya dilihat sebagai kumpulan pasal-pasal teknis. Ia harus menjadi pondasi pembaruan hukum acara pidana yang berorientasi pada keadilan sosial, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan partisipasi publik yang luas.

Seminar ini menjadi catatan penting bagi proses legislasi nasional. Sebuah pengingat bahwa pembaruan hukum bukan sekadar agenda elit, tapi juga perjuangan publik dalam membangun sistem keadilan yang benar-benar adil dan manusiawi. [*]

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.