BPH Migas Tolak Hapus Barcode, Ampon Man: Perlu Penjelasan Detail Soal Kebijakan Barcode BBM Subsidi
![]() |
Teuku Kamaruzzaman alias Ampon Man (tengah) saat diwawancarai awak media seusai acara temu pers, di Pango, Banda Aceh, Selasa (24/12/2024). (Foto: modusaceh.co/Fazliana). |
Ada banyak aspek yang perlu dikaji lebih dalam, terutama soal distribusi, kompensasi, dan jumlah BBM subsidi yang diberikan ke masing-masing daerah.
Banda Aceh – Pemerintah Aceh menyoroti keputusan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang menolak permintaan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, untuk menghapus sistem barcode dalam pembelian BBM subsidi di Aceh.
Juru Bicara Gubernur Aceh, T. Kamaruzzaman alias Ampon Man, menegaskan bahwa persoalan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan selembar surat dari BPH Migas.
Baca Juga:
Lemigas Klaim Kualitas BBM Sesuai Standar, Namun Efektivitas Pengawasan
Dipertanyakan
Menurut Ampon Man, ada banyak aspek yang perlu dikaji lebih dalam, terutama soal distribusi, kompensasi, dan jumlah BBM subsidi yang diberikan ke masing-masing daerah. Ia menilai keadilan dalam mekanisme dan sistem distribusi BBM harus diperjelas agar masyarakat Aceh tidak dirugikan.
“APBN itu diperoleh dari Pajak Rakyat dan juga eksploitasi Sumber Daya Alam yang sebahagian didapatkan Pemerintah/Negara dari Rakyat dan SDA Aceh,” ujar Ampon Man dalam keterangannya, Minggu, 2 Maret 2025.
Ia menekankan pentingnya mendapatkan data dan penjelasan lebih mendalam mengenai pola distribusi BBM subsidi, termasuk keadilan dalam penetapan Aceh sebagai daerah yang wajib menggunakan barcode.
Menurutnya, dalam surat yang dikirimkan oleh Kepala BPH Migas, Erika Retnowati, tidak terdapat penjelasan rinci mengenai dasar pemikiran, jangka waktu, serta kompensasi dari sistem barcode bagi Aceh sebagai daerah percontohan.
Baca Juga:
Amal Hasan: Penunjukan Ampon Man Sebagai Jubir Mualem–Dek Fadh Sangat
Tepat
Selain itu, surat tersebut juga tidak mencantumkan perbandingan antara wilayah lain yang menerapkan atau tidak menerapkan barcode, terutama dari sisi keuntungan dan kerugian bagi konsumen. “Kami ingin mengetahui pola, sistem serta mekanisme distribusi dari minyak yang dikuasai negara,” katanya.
Ampon Man juga menyoroti hak-hak konsumen di Aceh yang harus dijamin sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurutnya, perlindungan terhadap konsumen tidak hanya mencakup aspek keamanan, kenyamanan, dan keselamatan, tetapi juga informasi yang jelas, benar, dan jujur terhadap suatu produk, termasuk BBM.
“Kami mungkin akan membentuk tim khusus untuk memeriksa dan meneliti ini lebih detail. Tentu akan bekerjasama dengan kelembagaan Pemerintah/Negara lainnya untuk memperoleh transparansi dan akuntabilitas serta keadilan buat masyarakat Aceh,” tandasnya.
Sebelumnya, Kepala BPH Migas, Erika Retnowati, dalam surat bernomor T-126/MG.01/BPH/2025 yang ditujukan kepada Gubernur Aceh, menyatakan bahwa permohonan penghapusan barcode dalam distribusi BBM subsidi di SPBU seluruh Aceh belum dapat disetujui.
Baca Juga:
BPMA Dorong Perguruan Tinggi Aceh Siapkan SDM untuk Industri Migas
Ada empat alasan utama yang menjadi dasar penolakan tersebut. Pertama, distribusi BBM bersubsidi dan berkompensasi harus tepat sasaran sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, yang telah diubah terakhir dengan Perpres 117 Tahun 2021. BBM subsidi hanya diperuntukkan bagi konsumen yang berhak sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Kedua, karena subsidi BBM menggunakan anggaran negara yang bersumber dari APBN, maka penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, diperlukan sistem pendataan yang mencatat siapa yang membeli BBM subsidi serta sektor mana yang menggunakannya agar pendistribusiannya tidak disalahgunakan.
Ketiga, sistem barcode atau QR Code dianggap sebagai metode yang efektif untuk memastikan hanya masyarakat yang berhak yang dapat mengakses BBM subsidi. Penerapan digitalisasi ini juga diyakini dapat menekan penyalahgunaan BBM bersubsidi, sehingga penggunaannya lebih optimal.
“Dikhawatirkan apabila tidak digunakan barcode/QR code, penyalahgunaan BBM subsidi dan BBM kompensasi akan semakin marak, sehingga masyarakat yang berhak justru tidak mendapatkannya, karena kuota terbatas,” tulis Erika dalam surat tersebut.
Keempat, BPH Migas memahami kekhususan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Namun, prinsip akuntabilitas dan transparansi tetap harus dijaga, sehingga BPH Migas memutuskan untuk tetap menerapkan barcode dalam distribusi BBM subsidi di Aceh.[]
Tidak ada komentar