CORE Sebut Ada Anomali Konsumsi Menjelang Lebaran 2025, Daya Beli Masyarakat Melemah

Aktivitas dan suasana di pasar Al-Mahirah Kota Banda Aceh. (Foto: Dok. Koran Aceh).
Aktivitas dan suasana di pasar Al-Mahirah Kota Banda Aceh. (Foto: Dok. Koran Aceh).
CORE mencatat anomali konsumsi jelang Lebaran 2025, dengan daya beli masyarakat melemah. Deflasi dan penurunan penjualan ritel mengindikasikan tekanan ekonomi.

koranaceh.net Lembaga riset ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) menyoroti adanya anomali dalam daya beli masyarakat menjelang Hari Raya Idul Fitri 2025. Dalam laporan bertajuk "CORE Insight: Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran 2025", CORE mengungkap bahwa konsumsi rumah tangga, khususnya di kalangan menengah ke bawah, mengalami tekanan yang signifikan.

"Menjelang Lebaran 2025, kelompok rumah tangga kelas menengah ke bawah semakin terimpit oleh carut-marut ekonomi domestik," demikian tertulis dalam laporan yang ditulis oleh Yusuf Rendy Manilet, Azhar Syahida, dan Dwi Setyorini, dikutip Selasa, 1 April 2025.

Baca Juga :
Neraca Dagang Aceh Januari 2025 Defisit 24,97 Juta USD, Impor Melonjak Hingga 754,49 persen

Dalam laporan CORE, tren belanja untuk kebutuhan Ramadan dan Lebaran tahun ini tidak mengalami lonjakan seperti biasanya. Hingga pekan ketiga Maret 2025, konsumsi rumah tangga masih lesu, dengan indikasi kuat bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah mulai menekan pengeluaran mereka.

"Kelesuan di bulan Ramadan dan menjelang Hari Raya ini adalah sebuah anomali yang menggambarkan ketidakberesan di ekonomi domestik Indonesia," ujar laporan CORE.

Biasanya, menjelang Ramadan dan Idul Fitri, permintaan terhadap kebutuhan pokok meningkat, yang berkontribusi terhadap inflasi. Namun, pada 2025, justru terjadi deflasi di awal tahun, yang menjadi indikasi lemahnya konsumsi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,09 persen secara tahunan pada Februari 2025. Secara bulanan, deflasi tercatat 0,48 persen, sementara secara tahun berjalan (year-to-date) mencapai 1,24 persen.

Baca Juga :
Lindungi Daya Beli Masyarakat, Pemerintah Beri Diskon Listrik 50 Persen untuk Rumah Tangga Selama 2 Bulan

Deflasi ini semula dipicu oleh insentif diskon tarif listrik 50 persen yang berlaku pada Januari–Februari 2025. Namun, CORE melihat kejanggalan karena deflasi tidak hanya terjadi pada kelompok pengeluaran perumahan dan listrik, tetapi juga di sektor makanan, minuman, dan tembakau.

"Padahal, menjelang bulan Ramadan pada tahun-tahun sebelumnya, kelompok makanan, minuman, dan tembakau selalu menyumbang inflasi, meskipun dorongan kenaikan harga biasanya tertahan oleh musim panen yang sudah dimulai pada bulan Februari di beberapa daerah di Indonesia," tulis laporan tersebut.

Selain data deflasi, CORE juga menyoroti laporan indeks penjualan riil (IPR) dari Bank Indonesia. Pada Februari 2025, IPR mengalami penurunan sebesar 0,5 persen secara tahunan, dengan sektor makanan, minuman, dan tembakau turun 1,7 persen.

CORE menilai tren ini sebagai indikator penting dari sisi produsen yang mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat. Bahkan, sejak 2017, pertumbuhan IPR terus melambat, yang kini memuncak dengan anomali konsumsi pada Ramadan dan Lebaran 2025.

Baca Juga :
Defisit APBN Februari 2025 Capai Rp31,2 Triliun, Sri Mulyani: Masih Sesuai Target

"Perlambatan pertumbuhan IPR sejak 2017 mencerminkan adanya tekanan yang semakin mengeras terhadap konsumsi rumah tangga, puncaknya adalah anomali pada Ramadan dan Lebaran 2025," tulis laporan CORE.

Data ini diperkuat oleh penurunan pertumbuhan penjualan ritel di berbagai perusahaan besar. CORE mencatat bahwa pertumbuhan penjualan Indomaret melambat drastis dari 44,7 persen pada 2022–2023 menjadi hanya 4 persen pada 2024.

Penjualan Alfamart juga mengalami penurunan dari 13,9 persen pada 2022 menjadi 10 persen pada 2024. Hal serupa terjadi pada ritel Ramayana, yang penjualannya turun dari 8,1 persen pada 2022 menjadi hanya 0,1 persen pada 2024.

Penurunan tajam ini, menurut CORE, semakin memperkuat dugaan bahwa masyarakat tengah mengalami tekanan ekonomi yang berat, sehingga membatasi konsumsi mereka meskipun berada di periode Ramadan dan Lebaran.

"Tentu, ini adalah cerminan situasi genting dalam rumah tangga masyarakat Indonesia," tulis CORE dalam laporannya.

Dengan berbagai indikator tersebut, CORE menilai kondisi konsumsi domestik di Indonesia sedang dalam fase yang mengkhawatirkan. Jika tidak ada intervensi kebijakan yang tepat, pelemahan daya beli ini dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional di masa mendatang.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Leontura. Diberdayakan oleh Blogger.