Seni Menahan Amarah Dalam Al-Quran dan Stoikisme
Ilustrasi amarah. (Foto: shutterstock.com. |
Zikra Maulida
*Mahasiswi Ilmu al-Quran & Tafsir Universitas Negeri Islam Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe
Pandangan Islam dan Stoikisme menekankan pentingnya mengendalikan amarah sebagai bentuk kekuatan diri dan tanggung jawab emosional pribadi.
koranaceh.net | Opini ‒ Banyak dari kita pastinya pernah merasa atau bahkan pernah dihadapkan pada kondisi yang membuat diri kita marah. Saat mengalami perasaan tersebut, jantung kita akan berdetak lebih kencang dan tekanan darah juga akan naik sehingga kadang dapat memicu perilaku agresif, seperti berteriak atau bahkan bersikap kasar (Fanun, 2021).
Emosi tersebut tentunya hal yang wajar dirasakan oleh setiap manusia. Namun, emosi tersebut merupakan emosi negatif yang akan berdampak buruk terhadap diri sendiri dan sosial jika kita tidak menahan dan mengendalikannya dengan baik.
Baca Juga :
Budaya Membaca Lebih Penting daripada Sekolah
Telah banyak penelitian terdahulu yang membahas terkait hal ini. Salah satunya pada penelitian (Husnaini, 2019) menyatakan bahwa amarah adalah salah satu emosi negatif. Hal ini juga termuat dalam al-Quran, yaitu pada surah Ali-Imran ayat 134 “...dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa amarah merupakan emosi negatif yang bersifat destruktif, sehingga kita harus belajar bagaimana cara untuk mengendalikannya.
Dalam Tafsir al-Munir, sebuah kitab tafsir kontemporer karya Wahbah az-Zuhaili dijelaskan bahwa maksud dari “orang-orang yang menahan amarahnya” dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang apabila emosinya terbakar maka ia menahannya dan tidak melampiaskannya meskipun ia mampu dan punya alasan.
Bukan berarti karena ia lemah dan tidak memiliki kekuatan, namun sebaliknya ia adalah orang yang kuat. Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda: “Orang yang kuat bukanlah karena kekuatan fisiknya, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dan mengontrol dirinya tatkala marah.”
Selain itu, Wahbah az-Zuhaili juga menambahkan bahwa memaafkan menjadi bukti seseorang memiliki kecerdasan emosional yang matang dan integritas diri. Berdasarkan penjelasan Tafsir al-Munir di atas, orang yang berusaha untuk menahan kemarahannya ialah orang yang kuat.
Kemudian, mari kita lihat bagaimana Stoikisme mengajarkan kita seni dalam menahan amarah. Stoikisme adalah aliran filsafat Yunani-Romawi Kuno yang sudah berusia 2000 tahun, tetapi masih relevan dengan kondisi manusia saat ini.
Salah satu hal yang ingin dicapai oleh Stoikisme adalah hidup bebas dari emosi negatif, agar mendapatkan hidup yang tentram. Dalam buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring, Stoikisme dijelaskan sebagai cara hidup yang menekankan kemampuan manusia untuk mengendalikan respons terhadap hal-hal yang berada di luar kendali kita.
Dalam pandangan Stoikisme, amarah dianggap sebagai emosi yang mengaburkan akal sehat dan merusak kebijaksanaan. Seorang tokoh stoikisme, Marcus Aurelius dalam bukunya Meditations mengatakan “How much more damage anger do then the things that cause them” artinya sering kali, kemarahan menimbulkan lebih banyak kerusakan daripada penyebabnya sendiri.
Baca Juga :
Sang Ular Tengah Menelan Ekornya
Setelah mengetahui hal di atas, mungkin akan timbul beberapa pertanyaan: Bagaimana al-Quran mengajarkan kita tentang menahan amarah? dan bagaimana stoikisme dapat sejalan dengan Tafsir al-Munir? Diharapkan, tulisan ini dapat memberikan kita jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dalam bukunya Enchiridion, Epictetus mengatakan “some things are up to us, some things are not up to us” artinya ada hal-hal dibawah kendali kita, dan ada hal-hal tidak di bawah kendali kita.
Prinsip ini dinamakan dikotomi kendali atau dichotomy of control. Dalam prinsip ini amarah termasuk ke dalam hal-hal di bawah kendali kita, mengapa demikian? Karena amarah merupakan emosi yang muncul dalam diri kita sebagai respon terhadap penilaian dan persepsi atas suatu situasi.
Kita mungkin tidak dapat mengendalikan apa yang dilakukan dan dikatakan orang lain kepada kita, namun kita memiliki kendali penuh untuk memilih bagaimana kita meresponnya.
Dengan kata lain, cara mengendalikan amarah tergantung bagaimana kita mengelola pikiran, emosi, dan respon kita sendiri. Oleh karena itu, menurut Epictetus, amarah adalah sesuatu yang dapat dan seharusnya dikendalikan oleh individu.
Prinsip ini sejalan dengan penafsiran al-Quran dalam kitab Tafsir al-Munir terhadap surah Ali-Imran ayat 134: “…dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain”.
Dalam tafsirnya, az-Zuhaili menjelaskan bahwa orang yang bisa menahan amarah menunjukkan bahwa dirinya memiliki kecerdasan emosional yang matang dan integritas diri.
Ini berarti bahwa Islam pun mengakui bahwa amarah bukan sesuatu yang sepenuhnya datang begitu saja, tapi bisa dikendalikan. Dengan demikian, prinsip dikotomi kendali yang diajarkan oleh Epictetus dalam Stoikisme memiliki titik temu dengan al-Quran sebagaimana ditafsirkan dalam Tafsir al-Munir, yaitu bahwa kendali atas emosi seperti amarah adalah bagian dari tanggung jawab pribadi yang harus diusahakan oleh setiap individu.
Baik al-Quran maupun Stoikisme sama-sama menekankan pentingnya mengendalikan amarah. Surah Ali-Imran ayat 134 menyebut orang yang “menahan amarah” sebagai salah satu ciri orang yang bertakwa dan Tafsir al-Munir menegaskan bahwa sifat menahan amarah menandakan ia adalah orang yang kuat.
Filsuf Stoa seperti Epictetus mengajarkan dikotomi kendali: ada hal-hal (seperti persepsi dan respon kita) yang berada dalam kendali kita sendiri, dan ada hal-hal lain yang berada di luar kendali kita.
Dengan demikian, jika seseorang menghina kita lalu kita marah, stoikisme berpendapat kemarahan itu tergantung pada persepsi kita sendiri sehingga tanggung jawab kita adalah mengendalikannya.
Baca Juga :
Peta Realitas Akurat tentang Informasi yang Disebarkan Media Setiap Hari
Marcus Aurelius pun mengingatkan bahwa akibat buruk dari kemarahan sering kali lebih besar daripada pemicunya: bahkan dia berujar cara terbaik membalas perlakuan buruk adalah “tidak menjadi seperti itu”
Kedua perspektif ini ibarat dua jalur berbeda yang mengarahkan kita pada pesan yang sama, yaitu menahan amarah dan belajar memaafkan. Memahami nilai-nilai ini mengajak kita merenung: saat emosi memuncak, kita bisa memilih untuk menarik napas dalam-dalam dan merespons dengan tenang.
Apakah kamu akan terus membiarkan dirimu hidup dikendalikan oleh amarah setiap saat? Saya rasa semua orang pasti ingin hidup dengan tenang dan damai tanpa emosi yang meledak-ledak. Setelah kita mengetahui hal di atas, semoga kita dapat lebih mudah dalam mengendalikan amarah, sehingga hidup menjadi lebih tenang dan damai. [*]
Tidak ada komentar