Polemik Pengangkatan Plt Sekda Aceh: Meritokrasi Dipertanyakan, Cacat Prosedur atau Sah Secara Hukum?
Penunjukan Alhudri sebagai Plt Sekda Aceh menuai kontroversi. Ketua DPRA menyatakan pengangkatannya adalah cacat prosedur. Sementara terjadi perbedaan pendapat diantara para pengamat.
Banda Aceh ‒ Pengangkatan Alhudri sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh oleh Gubernur Muzakir Manaf alias Mualem memicu kontroversi di berbagai kalangan.
Pengamat politik dan ekonomi yang juga akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh, Taufiq A. Rahim, menilai pengangkatan Alhudri sebagai Plt Sekda Aceh tidak memenuhi prosedur Aparatur Sipil Negara (ASN) yang semestinya, serta tidak melalui sistem meritokrasi yang seharusnya menjadi standar dalam promosi jabatan di birokrasi.
Baca Juga:
Wagub Aceh Lantik 47 Pejabat Fungsional dan Tunjuk Alhudri sebagai Plt
Sekda
"Penunjukkan dan pengangkatan Alhudri sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh tidak memenuhi prosedur dan unsur yang sesungguhnya sebagai ASN, juga tidak memenuhi serta melalui meritokrasi sistem. Sehingga terkesan ugal-ugalan dalam menetapkan Jabatan Pratama Aceh Eselon 2 tersebut," ujar Taufiq dalam keterangannya kepada koranaceh.net pada Kamis, 20 Februari 2025.
Ia menambahkan, jika praktik seperti ini terus berlangsung, maka akan menjadi preseden buruk dalam sistem birokrasi Aceh. "Jika terus membiarkan praktik buruk pejabat di Aceh yang kerap melakukan praktik transaksional politik, politik uang, dan korupsi, dapat dipastikan dalam 100 hari jabatan Gubernur Aceh akan mendapatkan hambatan, gagal dalam usaha memperbaiki, merubah, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat," tegasnya.
Gubernur Aceh yang baru, sambungnya, harus mengambil langkah tegas dalam menangani persoalan ini jika tidak ingin Aceh semakin terpuruk.
Sebelumnya, Ketua DPRA, Zulfadli, menilai pengangkatan Alhudri tidak melalui mekanisme yang benar dan karenanya dianggap batal demi hukum. “Cacat prosedur sehingga tidak sah dan batal demi hukum,” tegas Zulfadli, yang dinukil dari komparatif.id.
Baca Juga:
Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Alhudri Diganti
Zulfadli juga menyoroti penerbitan SK yang tidak melalui prosedur standar, seperti tidak adanya telaah staf dan paraf dari Kepala Badan Kepegawaian Aceh (BKA) serta Asisten III Setda Aceh. “BKA tidak pernah memproses SK yang diserahkan Wagub Dek Fadh kepada Alhudri,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Zulfadli menemukan SK Plt Sekda Aceh atas nama Diwarsyah tidak pernah dicabut, padahal ia masih memiliki masa jabatan hingga tiga bulan sejak 4 Februari 2025. “Dengan kondisi tersebut, saya kira Diwarsyah masih Plt Sekda yang sah,” tambahnya.
Ia juga menyoroti ketidaksesuaian jabatan terakhir Alhudri yang tercantum dalam SK dengan posisi yang sebenarnya, yang menurutnya semakin memperjelas ketidakteraturan administrasi dalam pengangkatan ini.
Selain itu, Alhudri tidak masuk dalam daftar undangan resmi dalam acara
penyerahan SK PNS di lingkungan Pemerintah Aceh pada 19 Februari 2025, yang
menurut Zulfadli semakin memperkuat dugaan adanya pelanggaran administrasi
dalam proses ini.
![]() |
Surat Perintah Pelaksana Tugas bernomor PEG.821.22/13/2025. (Foto: Ist). |
Di sisi lain, pakar hukum dari Universitas Syiah Kuala, M. Jafar, menilai pengangkatan Alhudri tetap sah secara hukum karena ditandatangani langsung oleh Gubernur Aceh. "Keputusan tersebut tetap sah karena ditandatangani langsung oleh gubernur," kata Jafar, Kamis, 20 Februari 2025, dikutip dari dialeksis.com.
M. Jafar menjelaskan, dalam tata administrasi pemerintahan, ada tiga pola penerbitan surat keputusan (SK):
- Mengangkat pejabat baru sekaligus memberhentikan yang lama dalam satu dokumen.
- Mengangkat pejabat baru dan memberhentikan yang lama melalui surat terpisah.
- Mengangkat pejabat baru tanpa mencantumkan pencabutan SK lama, yang secara otomatis menggugurkan SK sebelumnya berdasarkan asas lex posterior derogat legi priori (aturan yang baru mengesampingkan aturan yang lama).
“Jika digunakan pola ketiga, maka SK pertama itu tidak berlaku lagi. Sudah berakhir,” ujar Jafar.
Soal ketiadaan paraf dari pejabat terkait dalam SK, Jafar menyebutnya sebagai masalah teknis dalam administrasi pemerintahan yang tidak mempengaruhi keabsahan keputusan tersebut.
Baca Juga:
Indonesia Gelap
"Itu (paraf) hanya kepentingan internal dalam organisasi pemerintahan. (Paraf) menunjukkan bahwa pihak yang memberikan paraf itu sudah mempelajari dan mengoreksi format dalam surat tersebut. Tapi secara hukum, yang bertanggung jawab tetap gubernur," jelasnya.
Tidak masuknya Alhudri, tambah M. Jafar, dalam daftar undangan pejabat yang dilantik pada 19 Februari 2025 bukan merupakan masalah substansial, sebab seorang Plt tidak perlu dilantik secara resmi.
Senada dengan M. Jafar, pengamat kebijakan publik Nasrul Zaman menyebut pengangkatan Alhudri sebagai Plt Sekda Aceh sudah melalui berbagai pertimbangan yang matang, termasuk pengalaman, loyalitas, serta faktor politis dan sosiologis.
"Alhudri memiliki pengalaman yang sangat relevan dalam memimpin beberapa Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) sebelumnya. Pengalaman ini akan sangat berguna dalam mendampingi Mualem-Dek Fadh untuk memimpin Aceh hingga 2030 mendatang," kata Nasrul Zaman, Kamis, 20 Februari 2025, dilansir dari AJNN.net.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Lantik Menteri Baru dalam Reshuffle Kabinet Merah Putih
Nasrul juga menekankan bahwa hubungan baik antara Alhudri dengan pimpinan saat ini, termasuk dengan gubernur sebelumnya, menjadi faktor penting dalam pemilihannya. “Tidak mengherankan jika Mualem-Dek Fadh memilih Alhudri sebagai Plt Sekda Aceh, karena sudah mempertimbangkan berbagai aspek yang penting,” tambahnya.
Polemik terkait pengangkatan Alhudri sebagai Plt Sekda Aceh menunjukkan perbedaan pandangan yang tajam antara para pengamat, akademisi, dan pejabat daerah. Di satu sisi, ada yang menilai keputusan ini sah secara hukum dan pertimbangan politik, sementara di sisi lain, muncul kritik keras terkait prosedur dan standar meritokrasi dalam birokrasi Aceh. Publik pun kini menanti sikap dari pemerintah Aceh.[]
Tidak ada komentar