Revisi UU TNI Dinilai Menghidupkan Dwifungsi, Koalisi Masyarakat Sipil Desak DPR Hentikan Pembahasan
|
Rencana revisi UU TNI menuai kritik tajam karena dianggap berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi TNI. Koalisi masyarakat sipil mendesak DPR untuk menghentikan pembahasannya. (Foto: kontras.org). |
Revisi UU TNI mendapat sorotan tajam karena dinilai berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi TNI, memperluas jabatan sipil bagi prajurit aktif, dan melemahkan supremasi sipil. Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR RI untuk menghentikan pembahasannya.
koranaceh.net – Rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang akan dibahas DPR RI dalam waktu dekat mendapat sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat.
Draf revisi yang mereka peroleh dinilai memiliki sejumlah poin kontroversial yang berisiko mengaburkan batas antara ranah sipil dan militer, serta berpotensi menghidupkan kembali konsep Dwifungsi TNI yang telah dihapus sejak era reformasi.
Baca Juga:
YLBHI: 10 Alasan Mengapa Jokowi Layak di Sebut Sebagai Pemimpin Korup,
Pelanggar Hukum & HAM
Pembahasan revisi ini bermula setelah Presiden Prabowo Subianto yang kala itu masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR RI, meminta pembahasan perubahan UU TNI.
Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai bahwa usulan perubahan dalam revisi ini mengandung sejumlah masalah krusial yang berlawanan dengan prinsip supremasi sipil dan reformasi TNI.
Koalisi ini terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat.
Kemudian ada juga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, dan Dejure.
Salah satu poin yang menjadi perhatian utama adalah perubahan Pasal 47 Ayat (2) UU TNI, yang memperluas cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Dalam revisi tersebut, ditambahkan frasa “serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.”
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, penambahan frasa ini sangat berbahaya karena membuka peluang interpretasi yang lebih luas, sehingga memungkinkan prajurit aktif menduduki berbagai posisi di kementerian dan lembaga sipil di luar 10 instansi yang sebelumnya telah ditetapkan dalam UU TNI.
Jika aturan ini disahkan, dikhawatirkan akan mengikis prinsip supremasi sipil dalam pemerintahan dan memperbesar pengaruh militer di birokrasi sipil.
“Penempatan TNI di luar fungsinya sebagai alat pertahanan bukan hanya salah, tetapi akan memperlemah profesionalisme TNI itu sendiri,” tegas Koalisi Masyarakat Sipil dalam pernyataan tertulis yang dikutip koranaceh.net.
Mereka menilai bahwa profesionalisme TNI hanya bisa dijaga jika prajurit tetap fokus pada tugas utama sebagai alat pertahanan negara, bukan menduduki jabatan sipil yang jauh dari kompetensinya.
Selain itu, ada persoalan hukum yang muncul jika prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil. Saat ini, berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana—baik militer maupun umum—akan diadili di peradilan militer.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi hukum yang berlaku bagi prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil.
"Penempatan TNI di luar fungsinya juga akan berdampak pada rancunya kewenangan/yurisdiksi prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana termasuk pelanggaran HAM – apakah diadili di peradilan umum atau di peradilan militer?," tanya Koalisi Masyarakat Sipil dalam siaran persnya.
Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti bahwa peradilan militer memiliki karakteristik berbeda dengan peradilan umum, terutama dalam aspek independensi, transparansi, dan akuntabilitas.
Jika prajurit TNI aktif tetap diadili di peradilan militer meskipun menduduki jabatan sipil, dikhawatirkan akan semakin menghambat penegakan hukum yang adil dan transparan.
Tak hanya itu, usulan revisi ini juga dinilai akan merusak pola organisasi dan jenjang karir aparatur sipil negara (ASN). Data dari organisasi hak asasi manusia, Imparsial, mencatat bahwa pada tahun 2023 terdapat 2.569 prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan sipil.
Dari jumlah tersebut, 29 perwira aktif ditempatkan di luar lembaga yang diperbolehkan dalam UU TNI. Hal ini dianggap mengabaikan prinsip meritokrasi dalam ASN karena memberikan ruang yang lebih besar bagi prajurit TNI untuk mengisi posisi yang seharusnya dipegang oleh pegawai sipil berkompeten.
Poin lain yang tak kalah kontroversial dalam draf revisi, tulis keterangan mereka, adalah usulan penghapusan larangan berbisnis bagi anggota TNI. Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, kebijakan ini merupakan langkah mundur dalam reformasi militer.
Baca Juga:
Retreat Kabinet Merah Putih: Antara Sinergi dan Militerisme
“Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit,” ujar Koalisi dalam pernyataan mereka. Menurut mereka, kesejahteraan prajurit adalah tanggung jawab negara, bukan individu prajurit sendiri.
Alih-alih memperbolehkan prajurit berbisnis, pemerintah dan DPR dinilai seharusnya berfokus pada peningkatan kesejahteraan anggota TNI melalui kebijakan anggaran dan tunjangan yang layak.
Jika larangan berbisnis bagi TNI dihapus, tutur Koalisi Masyarakat Sipil, dikhawatirkan terjadi konflik kepentingan yang dapat merusak independensi militer dan mengarah pada praktik bisnis yang tidak sehat di dalam institusi pertahanan.
Kritik lain yang muncul adalah terkait usulan perubahan Pasal 65 Ayat (2) UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada peradilan militer dalam semua kasus, termasuk tindak pidana umum.
Usulan ini bertentangan dengan amanat Pasal 3 Ayat (4) TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan Pasal 65 Ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004, yang secara jelas menyebutkan bahwa prajurit TNI tunduk pada peradilan militer hanya dalam kasus pelanggaran hukum pidana militer, sementara untuk pelanggaran hukum pidana umum mereka harus diadili di peradilan umum.
Reformasi peradilan militer merupakan bagian dari agenda reformasi TNI yang telah lama tertunda. Jika revisi UU TNI justru semakin memperkuat dominasi peradilan militer dalam semua kasus hukum yang melibatkan anggota TNI, maka hal ini berisiko memperburuk impunitas bagi prajurit yang melakukan tindak pidana umum.
Di luar revisi UU TNI, Koalisi Masyarakat Sipil juga menyoroti tren perluasan peran aktor keamanan melalui revisi UU Polri. Menurut mereka, alih-alih memperbesar peran TNI dan Polri, seharusnya pemerintah dan DPR lebih fokus memperkuat lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Kompolnas, dan Komnas Perempuan.
Pemotongan anggaran terhadap lembaga-lembaga pengawas tersebut justru dinilai sebagai langkah yang melemahkan mekanisme pengawasan terhadap aparat keamanan.
Baca Juga:
Demonstrasi Indonesia Gelap Jilid Kedua sebagai Refleksi Suara
Mahasiswa
Berdasarkan berbagai permasalahan yang muncul dalam draf revisi UU TNI, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR RI untuk menghentikan pembahasan revisi tersebut. Menurut mereka, sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR seharusnya lebih responsif terhadap kritik dan penolakan yang berkembang di masyarakat.
Menurut Koalisi, lebih baik DPR dan pemerintah memprioritaskan agenda reformasi TNI yang tertunda, seperti pembentukan UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer, serta restrukturisasi komando teritorial (Koter).
“Kami juga berharap agar DPR tidak tunduk pada tekanan eksekutif, menolak segala intervensi, dan lebih mengedepankan prinsip hak asasi manusia,” tegas pernyataan Koalisi.[]
Tidak ada komentar